Oleh I Gusti Ketut Widana
“Tim Dittipidnarkoba Bareskrim Polri menggerebek vila di Jalan Uluwatu, Jimbaran, Kuta Selatan, Senin (18/11). Pasalnya vila tersebut dipakai pabrik narkoba oleh sindikat narkotika internasional dan ditangkap empat pelaku berinisial MR, RR, N dan DA. Para pelaku berperan sebagai peracik dan pengemas atau koki. Barang bukti yang disita berupa hasish dan happy five senilai Rp1,5 triliun (BP, Rabu, 20/11).
Sebelumnya, berturut-turut juga ditemukan lab dan pabrik narkoba di Canggu Kuta Utara Badung dan pabrik narkoba jenis “Zombie” di Jalan Keliki Kawan Payangan Gianyar Juli 2024 lalu.
Luar biasa, benar-benar di luar kebiasaan, bukan karena terbiasa berhasil mengangkat prestasi meninggikan prestise melainkan lantaran semakin terpuruknya citra Bali yang sejak dulu termasyur di seantero dunia sebagai Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan atau Pulau Seribu Pura. Kini dirusak imagenya dengan label baru sebagai Pulau Narkoba.
Bayangkan, hanya dalam hitungan setahun terakhir ini, sudah digerebek tiga pabrik narkoba di Bali yang dikendalikan jaringan narkotika internasional. Luar biasanya lagi, meski diluar nalar, krama Bali yang katanya memiliki benteng pertahanan melalui “kekuatan” banjar/desa adat kok seperti tuna rungu di lingkungannya bercokol pabrik narkoba kelas dunia.
Bahkan institusi polri mulai dari level Polsek, Polres dan Polda dengan unit intelkamnya juga terkesan tidak trengginas mencermati geliat dinamika mobilitas warga negara asing dengan segala aktivitasnya. Terbukti, meski di wilayah pengamanannya berdiri pabrik narkoba tetapi yang gercep menggrebek justru langsung dari Mabes Polri.
Seperti kata pepatah, “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak”, atau mungkin karena tergolong kasus besar sehingga penanganannya harus dari institusi tertinggi. Intinya, diperlukan kemampuan “betel tingal” seluruh elemen masyarakat dan institusi pengamanan untuk mendengar dan melihat apapun yang sekiranya sedang dan akan terjadi lalu berkembang ke arah tindak kejahatan. Termasuk juga kesanggupan memprediksi, memitigasi, meangantisipasi dan kemudian menindaklanjuti dalam bentuk pencegahan sehingga tidak terus terulang terjadi.
Apalagi di tingkat banjar/desa adat, dengan para prajurunya, sebenarnya dapat menjadi “mata-telinga”, terlebih adanya pecalang yang berfungsi sebagai “kaki-tangan” untuk mengamati, menelusuri, mendeteksi, mengkonfirmasi dan akhirnya mengkonklusi terhadap apapun yang sedang bergeliat melakukan berbagai aktivitas di wilayahnya.
Seperti keberadaan vila yang sering disalah-gunakankan sebagai pabrik narkoba, Sebenarnya sejak awal pembangunan vila dan kemudian pemanfaatannya, pihak perangkat banjar/desa sudah bisa mendapatkan informasi saat pengurusan administrasi perijinannya. Jangankan membangun vila yang tergolong proyek besar, kadi rasa celeng mapalu (babi berkelahi) saja krama setempat pasti tahu.
Di sinilah diperlukan rasa peduli terhadap lingkungan, tidak bersikap masa bodo (cuek bebek) dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat. Entah itu menyangkut pembangunan fisik (infrastruktur, rumah, hotel, bungalo, vila, dan fasilitas lainnya) yang pastinya disertai pergerakan alat/peralatan, dan distribusi bahan/barang dalam jumlah besar.
Termasuk mobilitas dan aktivitas para pendatang (lokal dan asing), pemanfaatan lahan dan berbagai akomodasi yang ada. Sehingga dengan tuntas diketahui kejelasan informasinya terutama menyangkut statusnya (legal formal). Lagi pula untuk urusan keamanan dan ketertiban masyarakat setiap wilayah sudah di-back-up Polri (babin kamtibmas) plus polisi banjar dan disuport TNI (babinsa).
Logikanya, dalam contoh keberadaan pabrik narkoba dimaksud, mestinya sudah sejak dini bisa dideteksi. Tidak lagi setelah beroperasi bahkan sudah sempat dipasarkan produknya baru dilakukan penggerebekan.
Bisa dibayangkan, bagaimana citra Bali dengan keagungan taksu dari aktivitas tradisi, seni dan religi yang begitu mumpuni dan ditopang keindaham alami harus dipudarkan bahkan dihancurkan keluhurannya oleh keberadaan pabrik narkoba yang secara beruntun terus berdiri.
Ini rupanya imbas indutri pariwisata dengan iming-iming menggiurkan dari gelimangan dollar membuat jaringan bandar narkotika internasional menganggap Bali sebagai surganya pasar barang haram itu. Ditambah sikap permisif krama Bali terhadap lingkungan menjadikan Bali tidak lagi pulau surga tetapi telah menjelma sebagai pulau narkoba. Benar-benar ironis, miris dan tragis, semuanya demi pipis lantaran pariwisata Bali semakin kapitalistis.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar