DENPASAR, BALIPOST.com – Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024 yang digelar di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Jumat (6/12) menghasilkan 23 rumusan dan 14 poin rekomendasi. Rumusan dan Rekomendasi ini merupakan jembatan untuk menginisiasi program-program kebudayaan bagi Pemerintah Provinsi dan dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali terkait dengan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
Ketua Tim Kurator/Perumus, Prof. Dr. I Made Bandem, M.A., mengatakan Kongres Kebudayaan Bali IV ini sebagai salah satu wujud nyata upaya penguatan dan pemajuan Kebudayaan. Kongres ini dirancang untuk menghasilkan Pola Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali (PKPKB), sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kebudayaan 2025-2030.
PKPKB ini hasil Kongres Kebudayaan Bali IV ini berisikan Pokok Pikiran Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, Potensi, Peluang dan Tantangan. “Upaya penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali bertujuan untuk memperkokoh kebudayaan nasional, serta menjadikan Bali sebagai pusat peradaban dunia,” ungkapnya.
Menurut Budayawan asal Gianyar ini, Kongres Kebudayaan Bali ini menjawab tuntutan aktual tentang peluang dan tantangan dihadapi Bali dalam mewujudkan pembangunan. Termasuk Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali terkait dengan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
Berikut adalah 23 rumusan konseptual yang dihasilkan:
1. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali sebagai pranata kebudayaan telah terwujud, tetapi di tingkat Kabupaten/Kota belum memiliki turunannya.
2. Di tingkat Provinsi (Bali) dan seluruh Kabupaten/Kota sudah terwujud Dinas Kebudayaan, namun masih ada Kabupaten/Kota yang menggabungkan Dinas Kebudayaan dengan Dinas (SKPD) yang lain. Selain lembaga formal, Bali juga memiliki lembaga-lembaga non-formal yang bergerak dalam bidang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan.
3. Ekosistem Pemajuan Kebudayaan mencakup beragam komponen sinergis, komunitas, multi bidang, pranata, lembaga, sarana dan prasarana yang belum padu.
4. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (pelaku kebudayaan) pada objek pemajuan kebudayaan tertentumasih kurang.
5. Sarana prasarana kebudayaan yang ada saat ini tidak memadai sesuai perkembangan zaman. Kegiatan kebudayaan belum terdokumentasikan dengan baik.
6. Penguatan kebudayaan sakral dibutuhkan norma-norma tertentu untuk mengaturnya.
7. Kebudayaan berkembang dari yang bersifat personal menuju kepada yang bersifat umum/publik.
8. Seorang seniman baru dapat dikatakan sebagai maestro yang hebat jika mampu mewariskan karya seninya kepada masyarakat.
9. Seniman yang hebat itu adalah seniman yang merupakan abdi masyarakat, sebagai abdi budaya yang berkembang sebagai Guru Desa/Guru Loka. Sehingga seorang seniman yang hebat akan memiliki otoritas profesional.
10. Pembangunan bidang budaya merupakan “hukum wajib” bagi Pemerintah Provinsi Bali yang telah mendapatkan “bonus peradaban” karena memiliki kekayaan dan keunikan budaya yang dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakatnya.
11. Pemerintah Provinsi Bali telah menjadikan Kebudayaan sebagai hulu Pembangunan. Dengan membangun Kebudayaan akan menimbulkan berbagai dampak sistemik terhadap pembangunan bidang lainnya.
12. Provinsi Bali memiliki potensi alam, sumber daya manusia, dan pranata sosial yang sangat mendukung upaya penguatan dan pemajuan Kebudayaan.
13. Persoalan demografi Bali yang sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan pencatatan jumlah, pekerjaan, dan jenis kelamin penduduk, melainkan juga berkaitan dengan pendukung dan pelaksana Kebudayaan Bali itu sendiri.
14. Memajukan Kebudayaan Bali dalam konstelasi global harus menggunakan cara pandang optimis, yaitu mengacu pada proses institusionalisasi dengan penciptaan global-lokal (glocalization) dan memandang globalisasi sebagai hibridisasi (hybridization).
15. Secara konseptual, pariwisata Bali dengan tegas diarahkan pada pariwisata budaya. Hal ini diharapkan memberi ruang bagi para pelaku budaya untuk berkreativitas menciptakan berbagai bentuk budaya baru dalam berbagai bidang yang bersumber pada Kebudayaan Bali.
16. Upaya penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali juga bertujuan untuk menjadikan Bali sebagai pusat peradaban dunia “Bali Padma Bhuana” dan “Bali Nusa Adi Budaya”, yaitu daerah yang mengarus utamakan Kebudayaan untuk mensejahterakan masyarakatnya
17. Selain sebagai hak asasi, Kebudayaan adalah juga hak konstitusional. Karena itu, negara – khususnya pemerintah – wajib melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak tersebut.
18. Selain kewajiban yang diturunkan dari Konstitusi, negara juga terikat oleh kewajiban yang diturunkan dari perjanjian internasional untuk melindungi hak-hak yang terkait dengan kebudayaan sebab Indonesia adalah negara pihak (state party) dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, ICESCR).
19. Kontekstualisasi kebudayaan (Bali) berkorelasi langsung dengan pranata, lembaga, sarana, dan prasarana. Artinya, kontekstualisasi bisa jadi membutuhkan pranata, lembaga, sarana, dan prasaranabaru/tambahan. Pada saat yang sama, kontekstualisasi juga sangat mungkin meniadakan pranata, lembaga, sarana, dan prasana tertentu yang adas ebelumnya.
20. Berbicara tentang pranata, lembaga, sarana, dan prasarana dalam kaitan dengan penguatan dan pemajuan kebudayaan dibutuhkan strategi otonomi asimetris yang berangkat dari sikap jujur dan bertolak dari kenyataan yang sesungguhnya.
21. Teknologi digital sudah menjadi bagian dalam praktek kebudayaan Bali. Hal itu terjadi karena manusia tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) jika ingin kehidupannya menjadi lebih baik sesuai perkembangan zaman.
22. Di samping sebagai unsur, ipteks juga sebagai medium kebudayaan. Perekembangan teknologi digital sebaiknya disambut sebagaihal positif, tetapi tidak boleh mematikan/menenggelamkan kebudayaan dan kearifan lokal Bali, justru teknologi harus dimaanfaatkan dalam penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali.
23. Upaya penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali berbasis ipteks dilakukan melalui adaptasi, adopsi, dan kreasi, serta dimanfaatkan melalui produksi, konsumsi, distribusi, dokumentasi, dan regulasi.
Sementara itu, 14 rekomendasi yang dihasilkan adalah:
1. Kabupaten/Kota harus segera menyusun Peraturan Kabupaten/Kota tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan di tingkat Kabupaten/Kota.
2. Kabupaten/Kota segera mengimplementasikan Dinas Kebudayaan secara mandiri (tidak) digabung dengan Dinas/SKPD yang lain).
3. Lembaga-lembaga non-formal perlu diberdayakan dan difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan.
4. Ekosistem kebudayaan perlu dibangun berkelanjutan dan sinergi antara: pranata; pelaku; lembaga; sarana dan prasarana; serta kegiatan kebudayaan.
5. Kualitas pelaku kebudayaan perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan workshop sesuai dengan objek pemajuan kebudayaan.
6. Sarana prasarana kebudayaan baru hendaknya segera dibangun serta merenovasi dan/atau merestorasi yang sudah ada.
7. Inventarisasi dan dokumentasi semua kegiatan kebudayaan harus segera dilakukan sehingga terwujud pangkalan data Kebudayaan Bali yang komprehensif melalui Ceraken Kebudayaan Bali (CKB).
8. Perlunya disusun norma untuk mengatur penguatan kebudayaan sebagai sebuah strategi untuk mewariskan karya-karya maestro sebagai seorang Guru Desa/Guru Loka yang dianggap sebagai milik publik sebagai modal simbolik.
9. Dalam konteks memajukan Kebudayaan, Bali harus diberi otonomi pengelolaan, pendanaan, dan pembiayaan agar identitas, kekhasan, dan keunikan budayanya terjaga secara berkesinambungan.
10. Untuk dapat menjadi peluang yang menjanjikan, paradigma dan pelaksanaan tata kelola pariwisata Bali harus dikembalikan dan diluruskan dengan membangun dari Hulu ke Hilir disertai pengawasan yang intensif.
11. Pemerintah wajib melindungi, memajukan, menegakkan kebudayaan sebagai hak asasi dan hak konstitusi.
12. Perlu kontekstualisasi kebudayaan (Bali) yang berkorelasi langsung dengan pranata, lembaga, sarana, dan prasarana yang berangkat dari sikap jujur dan wajib bertolak dari kenyataan yang sesungguhnya.
13. Dengan adanya adaptasi kearifan lokal, dan landasan regulasi, pengembangan kebudayaan Bali berbasis iptek digital harus diteruskan dan diarahkan secara berkelanjutan agar kuat, maju, dan fungsional.
14. Pemerintah, Lembaga-lembaga Kebudayaan, dan Masyarakat wajib berpartisipasi aktif untuk mencegah, mengawasi, dan mengatur agar perkembangan teknologi digital yang mengglobal tidak membahayakan, menenggelamkan, dan akhirnya mematikan Kebudayaan serta kearifan lokal Bali. (Ketut Winata/balipost)