John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh  John de Santo

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan komitmen wajib belajar 13 tahun dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan aksentuasi pada pendidikan usia lima tahun. Usia wajib belajar 12 tahun selama ini akan ditambah setahun lagi pada pendidikan prasekolah.

Karena pendidikan prasekolah dianggap sebagai fondasi bagi perkembangan peserta didik. Hal tersebut ia kemukakan di Kompleks Kemendikbudristek, Jakarta Senin (21/10/2024). Gebrakan ini pasti akan diikuti oleh gebrakan-gebrakan lain sehingga adagium, ganti menteri ganti kebijakan masih berlaku. Kebijakan boleh saja berubah namun tantangan pendidikan depannya masih selalu sama. Apakah itu?

Leticia Cox dalam artikelnya Educational Challenges in Indonesia (2023) menyebutkan bahwa sepertiga dari populasi Indonesia adalah siswa sekolah yang berjumlah kira-kira 85 juta jiwa. Ini jumlah usia sekolah terbesar di seluruh dunia. Sementara laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa, per Oktober 2024, ada sebanyak 4,2 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah karena kondisi ekonomi keluarga tidak mendukung mereka untuk mengenyam pendidikan formal.

Baca juga:  Menjaga Eksistensi Bahasa Indonesia

Mereka tidak bersekolah atau putus sekolah karena ketiadaan biaya. Artinya, terdapat 4,9% anak Indonesia yang tidak sekolah atau putus sekolah karena persoalan biaya. Siapakah yang bertanggungjawab? Fakta menimbulkan dua pertanyaan. Apa artinya dana APBN 20% yang dialokasikan untuk bidang pendidikan jika masih ada sejumlah anak-anak Indonesia yang tidak tersentuh oleh kebijakan pendidikan karena persolan biaya?

Tantangan Masa Depan

Mengutip laporan World Bank, ke depannya, sistem pendidikan Indonesia masih akan menghadapi sejumlah tantangan yang berasal dari faktor sosio-ekonomis, budaya dan infrasuktur yang berdampak pada efektivitas dan aksesibilitas. Sementara melansir Unesco Institute for Statistic dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Kemendikbud),  sejumlah persoalan berikut masih akan menghadang peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Pertama, kualitas pengajaran. Salah satu persoalan yang dianggap paling mendesak untuk ditangani dalam pendidikan di negeri ini adalah kualitas pengajaran. Meskipun terjadi peningkatan cukup tinggi terhadap partisipasi pelajar, masih banyak sekolah dan lembaga pendidikan terutama di wilayah-wilayah terpencil, yang berjuang dengan keterbatasan sumber daya pengajaran baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.

Baca juga:  Jokowi-Prabowo Diskusi Soal Tantangan ke Depan

Kedua, akses terhadap pendidikan bermutu. Harus kita akui bahwa, akses terhadap pendidikan yang berkualitas di negeri ini belum merata di seluruh wilayah Nusantara. Para siswa di berbagai wilayah terpencil sering menghadapi berbagai hambatan seperti jarak tempat tinggal dan sekolah, kurangnya moda transportasi, dan minimnya fasilitas sekolah. Berbagai inisiatif sudah dilakukan pemerintah, namun persoalan ini masih akan menjadi tantangan di masa depan.

Ketiga, relevansi kurikulum. Relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja merupakan persoalan krusial. Banyak yang berpendapat bahwa kurikulum yang ada sekarang ini belum cukup menyiapkan para lulusan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kerja modern atau pendidikan tinggi.

Selain itu, muncul pula dorongan yang kuat terhadap berbagai pelatihan vokasi yang berkaitan dengan kebutuhan dunia industri untuk menjembatani gap antara pendiddikan dan dunia kerja. Keempat, kualitas guru. Semua sepakat bahwa kualitas guru terkait langsung dengan kesuksesan siswa. Tetapi kita harus mengakui bahwa banyak guru kita yang kurang terlatih dan berpeluang terhadap pengembangan profesi sebagai pengajar.

Baca juga:  Pemprov Bali akan Tertibkan Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Pasar

Kelima, sikap budaya terhadap pendidikan. Sejumlah persepsi budaya terhadap pendidikan juga memengaruhi partisipasi siswa dan keterlibatan orangtua dalam proses belajar-mengajar di sekolah.

Masyarakat di sejumlah wilayah masih kuat dengan keyakinan tradisional mereka untuk mengutamakan kontribusi ekonomis langsung dari anak-anak, dari pada upaya mengejar pendidikan yang mengandaikan investasi jangka panjang. Ini yang menjadi alasan mengapa anak-anak terutama perempuan yang putus sekolah. Tenaga mereka lebih diperlukan untuk bekerja dan bertanggung jawab terhadap keluarga.

Untuk mengatasi lima tantangan masa depan pendidikan ini, menurut hemat penulis, kita memerlukan berbagai upaya yang bersinergi dari semua kementrian terkait, lembaga-lembaga pendidikan, orangtu/wali siswa, masyarakat umum dan semua pemangku kepentingan. Hanya melalui kerja sama yang terkoordinasi dengan baik, kita bisa mengharapkan terbangunnya sebuah sistem pendidikan yang efektif untuk menyiapkan generasi muda Indonesia.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *