Prof. Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Banyaknya kasus Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang terjadi tak terlepas dari tindakan fraud yang dilakukan pengelola LPD. Pengawasan terhadap LPD selama ini dinilai masih sangat lemah. Demikian pula dengan tingkat profesionalitas pengurusnya masih banyak yang rendah.

Akademisi Ekonomi Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana, Kamis (12/12) mengatakan, kepengawasan LPD harus lebih ditingkatkan. “Ini merupakan bahasa umum yang sering diungkapkan. Bagaimana meningkatkan pengawasan yang berkualitas bagi LPD itu menjadi fokus bersama. Sama dengan jasa keuangan lainnya, masalah fraud menjadi masalah yang harus dicegah,” ujarnya.

Cara mencegahnya bisa dilakukan dengan berbagai hal. Pertama, menghilangkan sikap sungkan atau ewuh pakewuh di LPD. Sikap ini kontraproduktif dengan LPD sebagai usaha. Kedua, menyusun dan melaksanakan teknik pengawasan yang berbasis risiko.

Baca juga:  Karateka Inkanas Sabet 2 Emas di Italia

Pengamat LPD yang juga Auditor LPD, LP. Novyanti Ciptana Ika mengatakan, LPD telah memiliki lembaga pengawas yaitu LP LPD yang bertugas mengawasi, dan melakukan pemberdayaan. Selama ini ia melihat LPLPD sudah melakukan tupoksi dengan baik hanya saja LPD LPD yang diberi pembinaan, eksekusinya kurang.

“Misalnya setelah dibina, diberi penjelasan kelemahannya, kurangnya pencatatan prosedur, prosedur penyaluran kredit yang tidak sehat, tapi ternyata eksekusinya tidak ada. Contoh salah satu LPD di Badung, LPLPD diminta mendampingi, dan sudah melakukan pendampingan bahkan 20 kali kesana,  tapi LPD tidak ada tindak lanjut perbaikan,” bebernya.

Mengenai profesionalitas pengurus LPD yang rendah terlihat dari belum banyak yang memiliki SOP dan jobdesc. “Mungkin karena ketidaktahuan, kurangnya pendidikan dan pelatihan. Tapi Pengurus pastinya sudah mendapat pendidikan dan ada fit and proper test sebelum menjabat. Maka perlu pelatihan berkelanjutan,” ujarnya.

Baca juga:  Bali Masih Tambah Kasus COVID-19 Capai 2 Digit

Suartana mengatakan, risiko kredit akan berdampak pada risiko likuiditas. Pengurus dan pengawas LPD harus konsisten menjalankan operasional sebagai lembaga simpan pinjam biasa atau pacingkrem di desa adat.

“Tidak boleh ada investasi atau usaha-usaha lain dengan mengatasnamakan inovasi. Dengan kata lain inovasi pengurus jangan kebablasan,” ujarnya.

Ditanya soal lembaga pengawasan yang dimiliki LP LPD yang belum optiml, Prof. Suartana mengatakan perlu penelitian lebih lanjut. “Untuk menjawab pertanyaan itu, kita kembalikan ke pemerintah daerah karena LPD dibentuk berdasarkan Perda. Bagaimana perwajahan dan isi LPD menjadi pertanyaan menarik,” pungkasnya.

Pengamat LPD yang juga Auditor LPD LP. Novyanti Ciptana Ika mengatakan, pengawasan LPD harus dilakukan dari awal dengan pembianan  mulai dari nol. Selain itu struktur pengendalian intern seperti SOP harus dibuat dan benar benar dijalankan, karena 80 persen yang diaudit, struktur pengendalian internnya lemah.

Baca juga:  Ubud Royal Weekend Kupas Kearifan Lokal Ubud, Lontar Pemada Samara

“Struktur pengendalian intern dibentuk oleh pengurus bekerja sama dengan desa adat termasuk adanya perlunya pembuatan pararem karena sekarang sudah ada regulasi yang mengharuskan desa adat memiliki pararem terkait LPD, tapi banyak LPD belum punya, kalaupun punya, masih pararem yang lama,” tandasnya.

Pendidikan berkelanjutan diperlukan karena menurutnya ilmu terus berkembang dan kondisi ekonomi berubah. Maka selain memberi pendidikan, juga perlu pelatihan berkelanjutan untuk meng-upgrade ilmu. “Misalnya sekarang sudah memakai AI, tapi mereka masih ada yang pakai excel, bahkan pencatatan manual, maka dari itu perlu pelatihan berkelanjutan,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *