Oleh I Made Bram Sarjana
Bali tak layak dikunjungi pada tahun 2025? Fodor Travel, sebuah situs web berbasis di New York yang mengulas destinasi pariwisata kelas dunia, setiap tahun membuat Fodor’s No List, yaitu daftar destinasi yang perlu dipertimbangkan kembali untuk dikunjungi. Fodor menulis bahwa No List berfungsi menyoroti destinasi-destinasi yang industri pariwisatanya mengakibatkan tekanan berat terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Tekanan ini perlu ditangani agar destinasi-destinasi favorit dunia ini dapat tetap menarik untuk generasi berikutnya, tulis Fodor pada No List 2025. Bali telah masuk dua kali ke dalam daftar.ini, yaitu Fodor’s No List 2020 dan 2025.
Fodor’s No List 2020 pada 13 November 2019 memuat 13 destinasi. Bali berada dalam kategori The Places They Don’t Want You (or Want You in Smaller and Better Doses). Fodor menulis, Bali menderita akibat efek dari overtourism seperti timbulan sampah, kelangkaan air bersih yang berdampak terhadap petani lokal dan ulah oknum wisatawan yang tidak menghormati adat budaya lokal.
Kebetulan pada tahun 2020 terjadi pandemi, sehingga kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali merosot tajam.
Data BPS menunjukkan, kunjungan wisman ke Bali tahun 2020 sebanyak 1 juta lebih dari sebelumnya 6,2 juta lebih pada tahun 2019.
Fodor’s No List 2025 yang dipublikasikan pada 14 November 2024 memuat 15 destinasi.
Bali berada dalam kategori Perennial No List Destinations, yaitu destinasi yang terus dikeluhkan, kondisinya tidak membaik, justru
memburuk. Walau demikian, Fodor tidak menganjurkan pemboikotan terhadap destinasi karena justru merugikan ekonomi lokal dan gagal membawa perubahan yang diharapkan.
Oleh karena itu masuknya Bali dalam Fodor’s No List sejatinya merefleksikan kecintaan dan kekhawatiran publik internasional tentang dampak pariwisata terhadap keberlanjutan Bali. Dari perspektif kebijakan, ulasan Fodor dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik dalam mengevaluasi kebijakan.
Dalam siklus kebijakan sebagaimana dijelaskan Dye (2017), terdapat siklus berupa evaluasi kebijakan sebagai tahapan yang dilakukan untuk mengetahui dan mengukur capaian, manfaat dan dampak suatu
kebijakan. Berbagai masalah kepariwisataan terjadi akibat evaluasi kebijakan diabaikan.
Kita terlalu sibuk pada kebijakan yang berfokus pada pembangunan, mengejar target pertumbuhan, lupa mengevaluasi dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang terjadi untuk melakukan pembenahan. Ulasan Fodor tentang Bali dalam No List bukanlah hal yang baru.
Sejak lama berbagai pihak seperti akademisi, media, masyarakat maupun kalangan industri telah menyuarakan problematika keberlanjutan pariwisata Bali. Atensi dan kritik adalah pengingat, menjadi vitamin untuk kebijakan yang menyehatkan Bali.
Tujuannya bukanlah demi wisatawan dan industri pariwisata semata, namun demi keberlanjutan Bali. Hal ini sesuai dengan penjelasan Edgell & Swanson (2019) yang menyebutkan bahwa kebijakan pariwisata tidak hanya mencakup aspek pengembangan produk namun juga keberlanjutan dan tujuan masa depan destinasi.
Lalu bagaimana mengatasi benang kusut pariwisata ini? Tentunya diperlukan kebijakan yang tidak biasa, melainkan smart dan inovatif. Sebagian jawabannya dapat ditemukan dalam konsep smart city, sebagai instrumen untuk memperkuat pariwisata berkelanjutan.
Konsep ini tentunya perlu diterjemahkan dan disesuaikan dengan konteks Bali. Beberapa komponen inti smart city menurut Silva et al (2018) meliputi masyarakat, energi, transportasi serta pelayan kesehatan yang cerdas. Perbaikan tata kelola pariwisata berbasis
konsep smart city termanifestasi dalam kebijakan dan politik anggaran yang pro keberlanjutan.
Wujudnya amat beragam sesuai dengan permasalahan yang perlu dipecahkan antara lain seperti pelindungan hutan, mata air, danau, sungai, laut serta lahan pertanian; pemanfaatan energi bersih dan terbarukan, pengelolaan sampah dan limbah, pengembangan jaringan transportasi publik, penguatan infrastruktur digital beserta SDM-nya.
Masuknya Bali dalam Fodor’s No list sejatinya meneguhkan posisi Bali sebagai destinasi kelas dunia di mata publik internasional. Dampak
ikutannya adalah kebijakan kepariwisataan Bali harus smart dan inovatif untuk memitigasi dan mengatasi dampak pariwisata terhadap
alam, manusia dan budaya Bali.
Selain itu dukungan kebijakan pemerintah diperlukan agar wisatawan mancanegara yang datang semakin terfilter dan berkualitas. Kebijakan yang smart dan inovatif, serta berorientasi pada keberlanjutan menjadi syarat mutlak agar Bali menjadi destinasi selalu layak dikunjungi.
Penulis adalah Analis Kebijakan pada BRIDA Kabupaten Badung