Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

‘’Di mana wanita (Ibu) dihormati di sanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Di mana wanita (ibu) tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia”, demikian kitab Manawa Dharmasastra, III. 58 menempatkan sosok wanita (Ibu) pada posisi mulia.

Sekaligus amat berat mengingat kodratnya sebagaimana dinyatakan pada bab IX.28 : “kelahiran anak, terselenggaranya upacara keagamaan, pengabdian yang setia, kebahagiaan rumah tangga, surga untuk leluhur maupun untuk diri sendiri, semuanya didukung wanita”.

Pustaka suci Sarasamuscaya, sloka 240 pun menguatkan pernyataan itu: apan lwih temen bwatning stri, sangkeng bwatning lemah”, sebab
sesungguhnya jauh lebih beratnya wanita (ibu) daripada beratnya tanah/bumi). Kitab Niti Sastra 39, juga menempatkan bumi atau pertiwi sebagai Ibu, sehingga lumrah disebut Ibu Pertiwi.

Adakah makhluk ciptaan Tuhan lain yang lebih mulia dan berat lagi amanat dan kodratnya dibandingkan sosok wanita (ibu), semisal dengan kaum laki/pria? Sungguh tidak sebanding menyandingkannya.

Dalam konteks lain, sejak dulu nama ibu dilekatkan pada kata “Ibu Kota”, tidak ada sebutan “Bapak Kota”. Begitupun ketika bicara sejarah masa lalu, muncul istilah “Nenek Moyang”, bukan “Kakek Moyang” apalagi “Bapak Moyang”. Malah data penting terkait.administrasi perbankan, salah satu identitas.yang diminta dan dicatatkan adalah nama Ibu kandung.

Baca juga:  Ibu, Sang ’’Wonder Women’’

Begitu besar, berat dan mulianya sosok seorang wanita (ibu) itu, tak heran bila semua agama mengajarkan umatnya untuk selalu berbhakti pada ibu, sebab surga itu dikatakan ada di telapak kaki ibu, bukan bapak. Adanya peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember menunjukkan betapa pentingnya mengenang, mengingat dan menunjukkan penghormatan kepada kaum Ibu yang tak ubahnya seperti menghormati Dewa.

Seperti dinyatakan dalam kitab Tri Dewa Bawa, bahwa salah satu yang wajib dipuja karena merupakan penjelmaaan dewata adalah seorang Ibu (Mitri Dewa Bawa). Tak kurang tokoh Mahatma Gandhi pernah berujar: “Kaum wanita sejak mula menjadi penjelmaan dari pengorbanan, penderitaan secara diam, sikap rendah hati, keimaman dan kearifan.

Dari sisi ini, amat keliru jika wanita (ibu) dinilai sebagai kaum lemah, mudah pasrah dan gampang menyerah. Terlebih pada era emansipasi dan genderisasi kian masif menggerakkan kaum ibu lewat berbagai peran ganda dan partisipasi aktif di berbagai sektor kehidupan. Sehingga kaum ibu masa kini, tidak lagi terkungkung pada jeruji domestik yang secara tradisional dan konvensional terbatas mengurusi rumah tangga, sebagai pendamping suami atau sekedar
pelengkap keluarga yang terkadang tak lepas dari derita.

Baca juga:  Hari Ibu, Momentum Kebangkitan Perempuan Bali dalam Politik dan Penggerak Perubahan

Terkhusus lagi pada zaman digitalisasi lewat dunia maya yang kian progresif, menjadikan ruang dan waktu bagi kaum ibu menjadi semakin produktif — berkarya, berusaha, dan turut menjadi pencari nafkah keluarga. Aktivitas, kreativitas dan produktivitasnya pun terus berkembang tanpa batas.

Tidak lagi harus keluar rumah, sembari menangani urusan rumah tangga/keluarga dapat juga memanfaatkan sela waktu semisal berbisnis secara online. Hanya saja patut diingatkan, sebebas- bebasnya ruang dan waktu berkreasi sebagai salah satu upaya memberi kontribusi demi menambah kebutuhan materi/konsumsi keluarga, amanat kodratnya sebagai kaum wanita (ibu) tetap tak bisa diabaikan, apalagi dilepaskan.

Apalagi bagi Ibu-Ibu Hindu, sebagaimana disuratkan kitab Manawadharmasastra bab IX. 28 di atas, urusannya tidak hanya terkait dengan dunia sakala (materi/duniawi), tetapi lebih utama lagi menembus dimensi niskala, yaitu menjadi sosok wanita religi, ibu suci,
ibu upacara, sekaligus pembuka jalan surga bagi leluhur dan juga keluarga semua. Jadi taruhannya tidak main-main, sehingga jika wanita (ibu) Hindu era milleneal sekarang melupakan amanat kodratnya, diyakini, tidak hanya para Dewa yang tidak senang, upacara
religi tidak berpahala, keluarga akan hancur, bahkan surga pun akan terguncang.

Baca juga:  Pekerja Migran dan Agenda 2030

Menyambut peringatan Hari Ibu 22 Desember tahun ini, tidak cukup hanya dilakukan dengan perayaan yang hanya bersifat formal seremonial. Lebih baik lagi melakukan kontemplasi seraya instrospeksi, tidak hanya bagi kaum ibu untuk semakin menguatkan komitmen guna mengemban amanat kodratnya, juga pihak keluarga, mulai dari bapak/suami dan juga anak-anak untuk tidak hanya sekadar memberikan ucapan selamat plus kado, lebih penting lagi selalu menunjukkan rasa bhakti tulus sebagai wujud “balasan” atas jasa besar dan mulia seorang Ibu yang telah mengantarkan keluarga
dalam keadaaan sejahtera dan bahagia.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *