Oleh Putu Rumawan Salain
Luas wilayah Kota Denpasar atas dasar data Denpasar Dalam Angka 2023 disebutkan seluas 127,78 km persegi. Wilayahnya terdiri dari empat kecamatan dengan 27 desa, dan 16 kelurahan serta 35 desa adat dengan 360 banjar adat. Jumlah penduduknya pada tahun 2023 berjumlah 748.400 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2022 yang berjumlah 726.800 jiwa. Jumlah tersebut dalam hitungan satu tahun meningkat sekitar 2,9 persen.
Tingkat kepadatan penduduk rata-rata di tahun 2022 yang lalu di Kota Denpasar berjumlah 5.770 jiwa/km2. Jumlah penduduk yang besar selain suatu berkah juga merupakan masalah, ketika sebuah kota yang tumbuh dan berkembang mendahului kesiapan infrastrukturnya serta kebutuhan pelayanan publiknya. Bahkan sangat mungkin karena ketidaksesuaian pemanfaatan Tata Ruang yang ada. Muaranya adalah kemacetan!
Luas wilayah yang tidak bertambah diiringi dengan kepadatan yang tinggi merupakan salah satu faktor penyebab kemacetan. Tingkat kemacetan kian parah ketika Kota Denpasar juga menampung penduduk sementara yang hadir untuk berpariwisata, berdagang, bekerja, bersekolah, memeriksa kesehatan, dan juga pergerakan barang serta manusia antar kota, kabupaten, hingga antar pulau, dan lainnya.
Faktor kemacetan berikutnya dapat diakibatkan karena panjang jalan total ada sejumlah 589,60 km. Panjang jalan yang merupakan tanggung jawab Kota Denpasar dari tahun 2021 dengan panjang 486,08 km hingga tahun 2023 pertambahan panjangnya hanya 0,01 km yaitu 486.09 km. Artinya, dapat dikatakan tidak ada pertumbuhan panjang jalan.
Kemacetan di Kota Denpasar juga dipicu oleh faktor Jumlah kendaraan bermotor. Data BPS pada tahun 2022 dari total jumlah kendaraan bermotor di Provinsi Bali ada sejumlah 4.756.364, sebanyak 30,83 persen kendaraan bermotor terkonsentrasi di Kota Denpasar. Dari jumlah tersebut yang terbanyak adalah sepeda motor.
Jumlah ini tidak termasuk kendaraan bermotor yang mengangkut barang ataupun orang yang lintasan melalui Kota Denpasar, sehingga hampir semua jalur mengalamai kepadatan yang tinggi dan cenderung macet pada jam-jam tertentu.
Dari beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemacetan utama sangat ditentukan oleh struktur dan pola ruang masa lalu “tradisi”. Pola dan struktur ruang tersebut tumbuh dan berkembang dengan fungsi kekinian “modern”. Harus diakui bahwa jaringan jalan-jalan yang ada kini kebanyakan merupakan warisan sebuah kota kerajaan, di mana dirancang dengan skala jalan kaki, kereta ataupun kuda.
Polanya dilandasi oleh pola papan catur “Pempatan” yang selain sempit juga jaraknya relatif pendek. Bertumbuhnya fungsi baru disertai dengan perkembangan alat transportasi aneka tonase, beragam dimensi, rupa, dan energi yang digunakan bermuara pada problematik kota, misalnya macet, kebutuhan ruang parkir, pencemaran udara, dan hubungan-hubungannya.
Oleh karenanya, menguraikan kemacetan di Kota Denpasar ada baiknya jika melakukan upaya antara lain:
(1). Pulau Bali yang kecil perlu mengatur jenis, dimensi, dan tonase mobil yang boleh berseliweran di jalan-jalan yang sesuai dengan daya dukung jalan. (2). Review terhadap data-data yang berkaitan dengan lintasan jalan yang melalui Kota Denpasar, lebar dan panjang jalan serta titik simpangan, halte, terminal dalam satu data, kemudian mengintegrasikan hubungan dan kewenangan yang terkait dengan pemanfaatan dan perawatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten kota. (3). Letak dan posisi Kota Denpasar yang menghubungkan desa ke desa, kota ke kabupaten, antar provinsi, bahkan juga antar pulau; baik untuk kepentingan peredaran barang atau pun manusia. Diperlukan upaya kreativitas untuk pengalihan lintasan dan menambah lintasan alternatif.
(4). Dibutuhkan sinergi antara Struktur dengan Pola Ruang Provinsi Bali dengan Kota Denpasar khususnya dalam pengalihan dan atau perubahan fungsi lahan. (5) Diperlukan sinergi dan koordinasi dengan institusi yang berkaitan dengan pemanfaatan jalan, seperti misalnya Bina Marga-Perhubungan-Lalu Lintas dalam suatu visi optimalisasi pemanfaatan jalan. (6) Penegakan peraturan yang berkaitan dengan transportasi diiringi dengan manajemen transportasi dipandang mampu mengurangi kemacetan.
(7) Mengatur jadwal sekolah pada jam masuk dan pulang yang tidak sama. Misalnya dimulai jam 07.00, 07.30, atau 08.00, atas dasar zona. Hal yang sama juga diberlakukan bagi Pegawai Negeri Sipil, Sedangkan pegawai swasta diharapkan berangkat tidak lebih dari jam 09.00. (8) Transportasi publik yang sudah ada (trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata) agar diarahkan untuk mewajibkan bagi pegawai Negeri Sipil/ABRI dan Polisi untuk menggunakannya. Dapat dicoba dua kali seminggu kemudian tiga kali, akhirnya menjadi lima hari penuh.
(9). Perencanaan sistem Tranportasi Publik yang mewilayahi Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) perlu dikaji ulang atas kondisi kekinian, kemudian dioptimalkan melalui koordinasi yang terintegrasi antar Kota dan Kabupaten. (10). Pengoptimalan dan penambahan koridor, kendaraan, halte dan lainnya sesuai dengan rencana pembangunan/pengembangan transportasi publik yang telah ada.
(11). Penertiban parkir di badan jalan dan penyediaan fasilitas tempat parkir wajib diterapkan dengan sanksi hukum yang tegas dan tertib. (12). Dibutuhkan tambahan mobil pengumpan “feeder” untuk bus Transportasi Publik. (13). Penyediaan parkir bagi penggantian moda transportasi para penumpang public transport sangat dibutuhkan dan perlu. Misalnya yang ada di GOR Ngurah Rai. Selebihnya di setiap akses akan masuk kota disiapkan parkir yang memadai, seperti di akses Tohpati-Prof.Ida Magus Mantra dengan memanfaatkan Lapangan Kapten Japa, dan lainnya. (14). Guna mengurangi pergerakan kendaraan bermotor dapat dilakukan dengan aturan ganjil-genap. (15). Mengatur perizinan tentang kendaraan bermotor yang dengan nomor di luar Bali untuk beroperasi di Bali.
Sudah sepatutnya persoalan kemacetan tidak hanya melihat Kota Denpasar sebagai objek akan tetapi wajib melihat Kota/Kabupaten sekitarnya hingga Pulau Bali sebagai suatu kesatuan sistem hingga provinsi di luar Pulau Bali. Konsep transportasi secara terintegrasi wajib dilaksanakan. Jika tidak dikelola dengan terintegrasi dikhawatirkan kemacetan akan berpengaruh pada lingkungan dan hilangnya jam produktif, bakal sangat mungkin kerusakan jalan serta atau jembatan.
Adanya upaya Perencanaan Bus Elektrik (e-BRT) maupun LRT dipandang akan melahirkan masalah baru bagi perkotaan dan kawasan sekitarnya jika tidak direncanakan melalui Pola dan Struktur Tata Ruang secara menyeluruh untuk kebutuhan kini dan mendatang. Karena sesungguhnya hakekat transportasi adalah dari dan ke atau sebaliknya baik bagi barang maupun manusia yang Lancar, Aman, Nyaman, Tepat waktu, dan Terjangkau (LANT2). 15 usulan mengurai kemacetan di atas perlu diteliti dan dikaji lebih seksama. Semoga.
Pengajar, Arsitektur, Fakultas Teknik & Perencanaan Universitas Warmadewa