Oleh AAG Brahmantya Murti
Pilkada serentak telah usai di laksanakan. Namun demikian, jumlah partisipasi pemilih di Bali di bawah 70% dan menjadi catatan sejarah penyelenggaraan pemilihan umum yang terendah di Pulau Dewata. Padahal, berpartisipasi dalam pemilihan umum menjadi satu bentuk partisipasi dalam penyelenggaraan negara yang paling mudah.
Rendahnya partisipasi masyarakat ini dikhawatirkan menjadi refleksi partisipasi mereka dalam penyelenggaraan pembangunan yang lebih luas, turut serta mengawal produk-produk kebijakan dan kinerja pemerintah, terlebih landskap politik Bali yang semakin kompleks, heterogenitas penduduk, partisipasi anak muda, serta kondisi lingkungaan dan budaya Bali.
Dalam beberapa dekade terakhir, Bali telah mengalami perubahan demografis yang signifikan. Bali sebagai daerah pariwisata menjadi daya Tarik bagi masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia karena dianggap menjanjikan secara ekonomi. Tidak hanya itu, migrasi juga dilakukan oleh warga negara asing, salah satunya akibat konflik geopolitik yang terjadi. Urbanisasi dan globalisasi telah membawa migran dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan budaya. Heterogenitas ini menciptakan dinamika sosial-politik yang pelik.
Salah satu dampak yang sangat terasa, dilaporkan oleh BBC, adalah masyarakat Bali yang tak lagi dapat membeli tanah di tanahnya sendiri. Kenaikan harga tanah yang diakibatkan banyaknya pendatang khususnya dari luar negeri yang menetap di Bali. Sebenarnya ini adalah salah satu fenomenya yang muncul akibat dari overtourism. Ketika pengembangan sektor pariwisata dikelola secara bebas dan mendorong pertumbuhan jumlah wisatawan tiap waktunya, maka kondisi Bali tidak akan lebih baik dari sekarang.
Generasi Z, menjadi mayoritas pemegang suara, dengan menduduki hampir 50-60% dari total 193 juta pemilih, kini mulai aktif terlibat dalam politik, baik sebagai pemilih maupun penggerak perubahan. Generasi ini dikenal melek teknologi, kritis, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap isu global seperti lingkungan, keberlanjutan, dan hak asasi manusia. Di Bali, Generasi Z menunjukkan ketertarikan terhadap pelestarian budaya lokal dan upaya melawan degradasi lingkungan akibat pembangunan yang masif.
Namun, pemahaman ideologi serta sejarah politik yang mereka alami tidak sama dengan generasi sebelumnya, sehingga membentuk cara pikir serta pertimbangan yang mereka gunakan dalam preferensi politiknya menjadi sangat berbeda. Sehingga ada tugas besar yang harus diemban bagi para pemangku kebijakan untuk dapat memberikan Pendidikan politik bagi anak muda. Karena melalui pendidikan politik mereka mampu memiliki literasi politik yang mapan, dan menghubungkannya dengan kepedulian tinggi mereka terhadap isu-isu lingkungan.
Kepemimpinan Politik dan Isu Lingkungan-Budaya
Ada berbagai kasus yang mempertontonkan eksploitasi alam akibat pariwisata di Bali. Meski demikian, tidak ada upaya serius yang dilakukan, lebih cenderung sebatas memberikan alasan atau mencari pihak yang disalahkan. Padahal alam Bali menjadi warisan penting yang patut di jaga, karena tidak hanya perkaitan dengan pariwsaita, lebih dari itu, alam menjadi bagian integral dari kehidupan dan budaya masyarakat Bali.
Ini yang menjadi suatu ironi politik di Bali di mana minimnya perhatian tokoh politik terhadap isu lingkungan dan juga budaya, meskipun keduanya merupakan aset utama pulau ini. Pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial yang luas. Hal ini mengancam kelestarian lingkungan Bali dan keseimbangan budaya yang telah terjaga selama berabad-abad.
Sayangnya, banyak tokoh politik lebih fokus pada agenda jangka pendek yang berorientasi ekonomi, seperti menarik investasi besar, daripada melindungi warisan budaya dan lingkungan Bali. Pendekatan ini berisiko merusak identitas dan jati diri Bali yang telah tersedimentasi berates tahun yang lalu.
Refleksi dan Harapan
Untuk menjawab tantangan ini, Bali memerlukan kepemimpinan dan partisipasi politik yang deliberatif. Deliberatif berarti seluruh kebijakan dan Langkah-langkah pembangunan yang dipilih pemerintah dilakukan secara seksama, dan melibatkan partisipasi penuh masyarakat dan pihak-pihak lain. Bali harus dilanjutkan secara bersama, melalui kolaborasi seluruh pihak untuk merancang masa depan pulau ini.
Isu lingkungan dan budaya harus menjadi prioritas utama dalam agenda politik. Bali memerlukan kebijakan yang melindungi ekosistemnya dari eksploitasi berlebihan serta upaya konkret untuk melestarikan tradisi budaya lokal. Pariwisata diseimbangkan kembali untuk dapat menunjang lingkungan dan budaya Bali, bukan sebaliknya, menjadi faktor utama yang merusak 2 hal tersebut.
Pada akhirnya, refleksi politik di Bali bukan hanya tentang mengatasi tantangan, tetapi juga tentang menemukan peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakatnya, tanpa mengorbankan identitas dan keindahan pulau yang menjadi kebanggaan dunia ini.
Ketika kita berpartisipasi dalam pemilihan umum, kita turut mempertimbangkan langkah-langkah apa yang ditawarkan tiap paslon untuk merespons permasalahan yang ada di Bali. Pasca pemilu, kita mengawal agar apa yang dikerjakan pemerintah mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di Bali.
Penulis Pengamat Politik dari FISIP Universitas Warmadewa