Sampah yang dihasilkan masyarakat di TPS Butus. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali terus berupaya dalam melakukan penanganan sampah di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar). Mulai dari pembangunan TPS3R, TPST, pemilahan sampah berbasis sumber, hingga teknologi modern.

Bahkan, saat rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, Pj. Gubernur Bali mengusulkan ke Pemerintah Pusat agar Bali menerapkan sistem Waste to Energy. Ia berencana mengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan (waste to energy), yang diyakini mampu mengatasi persoalan pengelolaan sampah di kawasan Sarbagita.

Namun demikian, pengolahan sampah berbasis waste to energy (WTE) ini memiliki sejumlah kelemahan yang perlu diantisipasi, seperti disampaikan Ketua Forum DAS Provinsi Bali, Dr. I Made Sudarma, MS. Ia menyebut ada beberapa kelemahan teknologi WTE dalam pengelolaan sampah. Antara lain, pengolahan sampah dengan insinerasi akan dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari pendekatan yang ramah lingkungan melalui 3R, seperti pengurangan sampah, daur ulang, atau pengomposan karena mengganggap WTE akan dapat mengolah berbagai jenis sampah menjadi listrik tanpa perlu melakukan 3 R.

Baca juga:  Minggu Kedua Desember, Uji Coba Perdana MLFF Dilakukan di Tol Bali Mandara

Dalam sistem pembakaran sampah pasti akan dihasilkan emisi dan residu. Emisi dari proses pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan gas-gas beracun seperti oksida, karbon monoksida, dioksin, furan, dan gas-gas lainnya yang dapat mencemari udara jika tidak dilengkapi dengan teknologi penyaringan gas buang (scrubber) yang baik.

Kelemahan lainnya, kata dia, sisa hasil pembakaran adalah berupa abu (ash) yang mengandung logam berat atau zat beracun lain karena bahan baku sampah tidak terpilah, sehingga memerlukan penanganan khusus karena abu sisa pembakaran termasuk dalam kategori limbah B3. Dalam kondisi musim hujan, sampah basah dengan kadar air tinggi sehingga kalori sampah rendah dan menjadikan  efisiensi  pembakaran untuk menjadi listrik rendah.

Baca juga:  Terkendala Komputer, SMKN 1 Amlapura Belum Bisa Laksanakan UNBK

Berikutnya, dari sisi investasi, capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex) WTE tinggi dan ini akan menjadi beban yang tinggi bagi pemerintah daerah. Beban pemda dalam bentuk tipping fee yang tinggi pada akhirnya akan dilimpahkan pada masyarakat melalui peningkatan retribusi sampah yang tinggi.

Dalam WTE juga ada perjanjian minimal sampah yang harus dipasok sesuai dengan kapasitas mesin yang digunakan. Akibatnya, pemda harus selalu menyediakan sampah sesuai dengan perjanjian. Upaya pengurangan sampah hanya bisa dilakukan sesuai dengan minimal pasokan yang diminta oleh WTE.

Baca juga:  Dilanda Angin Kencang Sehari, Klungkung Hadapi Kerugian Material hingga Miliaran Rupiah

Kelemahan berikutnya, kata Sudarma, kesiapan dan kesediaan masyarakat sekitar untuk menerima lokasi WTE. Ada kemungkinan masyarakat terdekat  akan melakukan penolakan WTE karena kekhawatiran akan dampak negatif atas WTE.

“Upaya yang bisa dilakukan apabila WTE menjadi pilihan adalah teknologi WTE yang digunakan harus ramah lingkungan sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah dengan tipping fee yang rendah,” ujar Sudarma. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *