Oleh I Wayan Yudana
Pendidikan pertanian pernah menjadi salah satu fondasi penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Di Bali, keberadaan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) pada masanya adalah solusi untuk mencetak generasi muda yang kompeten di bidang pertanian.
Namun, seiring perubahan kebijakan pendidikan dan meningkatnya fokus pada sektor-sektor lain seperti pariwisata, perhatian terhadap pendidikan pertanian kian memudar. Ditutupnya SPMA menjadi titik balik yang menandai penurunan minat generasi muda terhadap bidang ini, meskipun Bali sejatinya memiliki potensi besar di sektor agraris.
Saat ini, pendidikan pertanian di tingkat sekolah menengah hanya tersisa dalam bentuk jurusan agribisnis atau agroteknologi di beberapa SMK. Ironisnya, peminat jurusan ini sangat sedikit. Mayoritas siswa lebih memilih bidang keahlian lain yang dianggap lebih menjanjikan dari segi prospek kerja, seperti pariwisata dan teknologi informasi. Padahal, sektor pertanian di Bali masih memegang peranan strategis, baik sebagai penyokong kebutuhan pangan maupun sebagai daya tarik agrowisata.
Selain itu, salah satu alasan minimnya perhatian terhadap pendidikan pertanian adalah kurangnya promosi dan inovasi dalam kurikulum. Pendidikan pertanian sering dipandang kuno dan tidak menarik bagi generasi muda. Pandangan ini diperparah oleh stigma bahwa bekerja di sektor pertanian tidak dapat memberikan kesejahteraan yang memadai dibandingkan pekerjaan di sektor pariwisata.
Sebagai destinasi wisata dunia, Bali tak hanya dikenal dengan keindahan alam dan budayanya, tetapi juga hasil-hasil pertanian khas seperti kopi, beras, dan berbagai produk hortikultura. Banyak wisatawan asing yang tertarik untuk melihat langsung proses pertanian tradisional Bali, seperti sistem subak yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Ini menunjukkan bahwa pertanian di Bali sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai sektor yang mendukung pariwisata. Agrowisata misalnya.
Agrowisata merupakan salah satu bentuk integrasi yang nyata antara sektor pertanian dan pariwisata. Wisatawan dapat diajak berkunjung ke kebun kopi, belajar menanam padi, atau menikmati hasil panen lokal di desa-desa wisata. Namun, pengembangan agrowisata membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memahami seluk-beluk pertanian sekaligus memiliki kemampuan komunikasi untuk melayani wisatawan. Di sinilah peran pendidikan pertanian menjadi krusial.
Untuk menghidupkan kembali pendidikan pertanian, salah satu langkah penting adalah menyelaraskan kurikulum di SMK bidang agribisnis dengan kebutuhan pasar. Kurikulum yang relevan tidak hanya fokus pada aspek teknis seperti bercocok tanam atau pengelolaan lahan, tetapi juga mencakup pemahaman tentang bisnis, pemasaran, dan teknologi modern.
Misalnya, siswa dapat diajarkan bagaimana memanfaatkan teknologi pertanian, seperti drone untuk pemantauan tanaman atau aplikasi digital untuk manajemen hasil panen. Selain itu, siswa juga perlu dibekali dengan keterampilan untuk mengolah hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah, seperti keripik buah, jus organik, atau pupuk kompos. Pendekatan ini akan membuat pendidikan pertanian lebih menarik bagi generasi muda karena mereka dapat melihat prospek ekonomi yang nyata.
Lebih jauh lagi, kolaborasi dengan industri dan pelaku pariwisata dapat menjadi solusi strategis. Hotel, restoran, dan kafe (Horeka) membutuhkan pasokan bahan pangan berkualitas tinggi yang dihasilkan secara lokal. Dengan melibatkan SMK pertanian sebagai mitra penyedia, siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman kerja nyata, tetapi juga membantu meningkatkan citra pertanian sebagai profesi yang penting dan menjanjikan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mendukung pendidikan pertanian. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif kepada petani muda yang merupakan lulusan SMK pertanian, misalnya berupa akses ke lahan, modal usaha, atau pelatihan lanjutan. Selain itu, dukungan berupa program magang di perusahaan pertanian modern atau agrowisata dapat membantu siswa memahami dinamika industri secara langsung.
Masyarakat juga perlu diedukasi untuk melihat pertanian sebagai sektor strategis. Kampanye-kampanye tentang pentingnya kemandirian pangan, dampak positif agrowisata, dan peluang ekonomi di bidang pertanian perlu digencarkan. Dengan begitu, pandangan negatif terhadap pertanian sebagai pekerjaan “kuno” dapat diubah menjadi pandangan yang lebih positif.
Pertanian bukan hanya soal bercocok tanam, tetapi juga soal kedaulatan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Menghidupkan kembali pendidikan pertanian adalah langkah awal untuk memastikan bahwa sektor ini tetap relevan di tengah dominasi pariwisata. Dengan kurikulum yang inovatif, dukungan dari pemerintah, dan kolaborasi dengan industri, pendidikan pertanian dapat kembali menjadi pilihan menarik bagi generasi muda.
Bali yang berkelanjutan adalah Bali yang mampu menyeimbangkan antara pariwisata dan pertanian, budaya dan modernitas. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan pertanian sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi Pulau Dewata adalah suatu kewajiban semua pihak.
Penulis, Kepala SMK Negeri 1 Petang.