Oleh I Nyoman Sucipta
Inovasi di bidang energi dapat mendukung kemandirian pangan, seperti penggunaan panel surya untuk sistem irigasi atau penggunaan energi terbarukan dalam proses pengolahan dan penyimpanan makanan dapat mengurangi biaya energi dalam rantai pasokan pangan. Ini akan meningkatkan efisiensi sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Perubahan iklim akibat penggunaan energi fosil mempengaruhi produktivitas pangan. Kekeringan, banjir, dan kondisi cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat menurunkan hasil panen. Oleh karena itu, transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan bisa membantu mengurangi dampak perubahan iklim dan melindungi ketahanan pangan jangka panjang.
Diversifikasi baik di sektor pangan maupun energi penting untuk mengurangi risiko. Pengembangan berbagai sumber energi (terbarukan seperti angin, matahari, biomassa) serta diversifikasi jenis tanaman pangan dapat mengurangi ketergantungan pada sumber tunggal dan membuat sistem lebih tahan terhadap gangguan. Diversifikasi sumber daya dalam sektor pangan dan energi adalah kunci untuk mencapai ketahanan jangka panjang dan keberlanjutan. Dalam konteks ketahanan pangan, diversifikasi tanaman dan sumber protein bisa mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu yang rentan terhadap fluktuasi harga dan kondisi cuaca.
Di sisi energi, diversifikasi ke energi terbarukan dan efisiensi energi bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang terbatas dan merusak lingkungan. Diversifikasi ini penting untuk memastikan kemandirian dan keberlanjutan ekonomi di masa depan. Diversifikasi sumber daya adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis sumber daya tertentu dan memperluas penggunaan berbagai sumber yang tersedia.
Dalam konteks pangan dan energi, diversifikasi ini sangat penting untuk meningkatkan ketahanan, keberlanjutan, dan stabilitas ekonomi suatu negara atau komunitas. Dengan mendiversifikasi sumber daya, risiko gangguan atau kelangkaan yang disebabkan oleh perubahan harga global, bencana alam, atau ketergantungan pada impor dapat diminimalisir.
Diversifikasi di sektor pangan berarti memperbanyak jenis sumber pangan yang dikembangkan dan dikonsumsi, serta tidak bergantung pada satu atau beberapa jenis komoditas saja.
Diversifikasi ini dapat dilakukan melalui: Mengandalkan beberapa jenis tanaman saja (misalnya padi, gandum, atau jagung) untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional bisa berisiko jika terjadi gagal panen, perubahan iklim, atau fluktuasi harga pasar global. Diversifikasi tanaman melibatkan penanaman berbagai jenis tanaman pangan, baik tanaman pokok, hortikultura, maupun tanaman lokal yang berpotensi tinggi tetapi kurang dimanfaatkan. Mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman, meningkatkan ketahanan pangan, memperkaya pola makan masyarakat, serta meningkatkan biodiversitas tanah. Contoh: Selain padi, masyarakat dapat menanam tanaman pangan lokal seperti singkong, sorgum, ubi jalar, kacang-kacangan, dan sagu, yang lebih tahan terhadap kondisi cuaca ekstrem dan lebih beragam secara nutrisi.
Selain tanaman, diversifikasi juga bisa dilakukan pada sumber protein. Mengandalkan protein hewani dari ternak besar seperti sapi dapat sangat boros energi dan lahan, serta rentan terhadap penyakit hewan. Oleh karena itu, sumber protein lain, seperti ikan, unggas, serangga, atau kacang-kacangan, dapat dikembangkan. Mengurangi ketergantungan pada sumber protein tertentu, serta menyediakan alternatif yang lebih efisien dari segi lahan dan energi. Budidaya ikan air tawar, peternakan unggas, atau pengembangan protein dari serangga bisa menjadi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengembangan Produk Pangan Lokal
Diversifikasi juga melibatkan promosi dan pengembangan pangan lokal yang selama ini kurang dimanfaatkan. Ini bisa membantu mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan dan meningkatkan ekonomi lokal.Mendukung ekonomi lokal, memperkuat ketahanan pangan nasional, dan melestarikan keanekaragaman hayati lokal. Contoh: Masyarakat di berbagai wilayah Indonesia bisa memanfaatkan tanaman lokal seperti sagu, sorgum, atau pisang sebagai sumber karbohidrat alternatif selain beras.
Diversifikasi sumber energi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis energi, terutama bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, dengan memperluas penggunaan energi terbarukan dan teknologi baru. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan fluktuasi harga energi global. Sumber energi terbarukan seperti energi matahari, angin, air, dan biomassa adalah sumber daya yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan. Menggunakan sumber-sumber energi ini dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang terbatas dan berpolusi.
Mengurangi emisi karbon, lebih berkelanjutan, mengurangi risiko fluktuasi harga energi fosil. Contoh: Memanfaatkan panel surya untuk energi rumah tangga atau lahan pertanian, membangun pembangkit listrik tenaga angin di wilayah pesisir, dan menggunakan energi hidroelektrik dari sungai atau bendungan. Bioenergi adalah energi yang dihasilkan dari bahan biologis, seperti tanaman, limbah organik, atau kayu. Ini bisa menjadi alternatif untuk energi fosil, terutama di daerah pedesaan yang memiliki banyak sumber biomassa. Memanfaatkan limbah organik dan tanaman energi, bisa digunakan untuk menghasilkan listrik, bahan bakar, atau gas.
Selain menggunakan sumber energi yang berbeda, diversifikasi juga mencakup peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi. Teknologi baru yang lebih efisien dalam hal penggunaan energi dapat membantu mengurangi ketergantungan pada energi tradisional. Mengurangi konsumsi energi, menurunkan biaya produksi, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Energi nuklir adalah sumber energi lain yang dapat digunakan sebagai alternatif bagi bahan bakar fosil. Meskipun kontroversial karena isu keamanan, energi nuklir dapat menyediakan sumber listrik yang stabil dan bersih dalam jangka panjang. Emisi karbon rendah, kapasitas besar untuk pembangkitan energi. Contoh: Beberapa negara maju menggunakan energi nuklir sebagai sumber listrik utama mereka, seperti Prancis dan Korea Selatan.
Penggunaan tanaman pangan sebagai bahan baku bioenergi, seperti bioetanol dari jagung atau biodiesel dari minyak sawit, dapat meningkatkan persaingan antara sektor pangan dan energi. Jika tanaman yang biasanya digunakan untuk produksi pangan dialihkan ke produksi bioenergi, pasokan pangan bisa berkurang, yang pada akhirnya meningkatkan harga pangan. Hal ini menimbulkan dilema antara kemandirian energi dan ketahanan pangan.
Negara-negara yang sangat bergantung pada impor bahan bakar atau energi untuk produksi pangan lebih rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga minyak atau gas alam naik secara global, biaya produksi pangan juga meningkat di negara-negara ini, yang menyebabkan harga pangan domestik menjadi lebih tidak stabil dan mahal.
Fluktuasi harga energi, terutama di pasar global, dapat menimbulkan efek multiplier yang mempengaruhi harga pangan secara global. Negara-negara dengan biaya produksi yang lebih tinggi akibat kenaikan harga energi mungkin menaikkan harga ekspor pangan mereka, yang akan berdampak pada harga pangan di negara lain.
Penulis, Guru Besar Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana