Tangkapan layar - Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Selasa (14/01/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan telah diaktivasi oleh OJK sebagai bentuk dukungan program tiga juta rumah. Hal itu disampaikan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar.

“Kami sampaikan telah diaktivasi berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan seperti kualitas KPR yang dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran,” kata Mahendra dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (14/1).

Mahendra merinci sejumlah kebijakan tersebut, salah satunya kualitas kredit kepemilikan rumah (KPR) dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Penetapan kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar dapat dilakukan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga yang dikenal dengan istilah satu pilar, yang juga dapat diberlakukan untuk KPR.

Baca juga:  Sebagian Besar Suplai Narkoba dari Luar Negeri, BNN Sebut Dua Negara Ini

“Pemanfaatan dari POJK 40 Tahun 2019 ini, maka pemberian (plafon) untuk debitur sampai Rp5 miliar dapat hanya menggunakan satu pilar saja,” kata dia.

Perlakuan penilaian kualitas aset tersebut bersifat lebih longgar dibandingkan kredit lainnya di mana bank menilai dengan tiga pilar antara lain prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar.

Kebijakan lainnya, KPR dapat dikenakan bobot risiko yang rendah dan ditetapkan secara granular dalam penghitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit atau ATMR kredit.

Hal ini sesuai dengan SEOJK Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum.

Baca juga:  Pemanfaatan PLTS Atap, Upaya Jaga Kesucian dan Keharmonisan Alam Bali

Kredit untuk properti rumah tinggal dapat dikenakan dengan bobot risiko ATMR kredit yang rendah dibandingkan kredit lainnya, antara lain kredit kepada korporasi.

Dalam ketentuan itu, bobot risiko ditetapkan secara granular dengan bobot rendah sebesar 20 persen berdasarkan loan to value (LTV).

Adapun LTV dalam konteks ATMR kredit dihitung pada setiap posisi akhir bulan berdasarkan nilai tercatat kredit dibandingkan nilai agunan properti. Sehingga dengan adanya pembayaran cicilan kredit dan semakin mendekati jatuh tempo, akan terjadi penurunan LTV yang diikuti dengan penurunan bobot ATMR kredit.

“Dengan begitu, perbankan memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya,” kata Mahendra.

Kemudian, kebijakan lain yaitu untuk mendukung sisi pendanaan kepada pengembang perumahan. Mahendra mengatakan bahwa larangan pemberian kredit pengadaan atau pengolahan tanah telah dicabut sejak 1 Januari 2023.

Baca juga:  OJK Fokus Lima Area Kebijakan dan Inisiatif di 2020

“OJK telah memberikan keleluasaan bagi pengembang perumahan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan guna melakukan pengadaan atau pengolahan tanah yang sebelumnya dilarang. Dengan dicabutnya larangan itu, bank diimbau agar lebih menekankan pada penerapan manajemen risiko yang baik,” kata Mahendra.

Selanjutnya, OJK bersama stakeholder terkait akan membahas mengenai dukungan likuiditas bagi pembiayaan program tiga juta rumah mengingat besarnya kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk program dimaksud, antara lain penyempurnaan skema Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA SP) di pasar modal.

“Dengan berbagai dukungan kebijakan itu, maka kami optimis program pemerintah untuk menyediakan tiga juta hunian hunian bagi masyarakat berpendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik,” kata Mahendra. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *