Oleh Agung Kresna
Terhitung per 1 Januari 2025, operasional bus Trans Metro Dewata (TMD) dihentikan. Pemberhentian ini dikatakan sementara sampai ada keputusan pemerintah. Selama ini layanan transportasi publik tersebut beroperasi karena disubsidi oleh Kemenhub.
Selanjutnya Pemerintah Pusat meminta pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota di Bali untuk mengelolanya. Penghentian layanan TMD tentu mengejutkan masyarakat penggunanya, yang selama ini telah mengandalkan TMD untuk beraktivitas. Hingga muncul petisi bertajuk “Lanjutkan operasional Bus Trans Metro Dewata sebagai transportasi publik di Bali”, melalui laman Change.org.
TMD sendiri resmi beroperasi terhitung sejak 7 September 2020, sebagai salah satu program Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jendral Perhubungan Darat dengan PT. Satria Trans Jaya sebagai operator layanannya. TMD yang baru beroperasi selama 4 tahun tentu merupakan durasi yang pendek.
Paling tidak dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun, agar suatu transportasi publik massal mulai stabil dalam memberikan layanannya kepada masyarakat penggunanya. Trans Semarang memerlukan waktu sekitar 15 tahun terhitung sejak September 2009 hingga dapat mandiri, mendapat anggaran dari APBD Semarang dan penghasilan mandiri melalui iklan di badan bus.
Bus TMD merupakan proyek pengembangan Buy The Service (BTS) dari Kementerian Perhubungan melalui sistem stimulus selama 5 tahun. Sehingga pembiayaan operasional bus TMD sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Terdapat 11 kota di Indonesia yang menjadi pilot project model pemberian stimulus dalam 5 tahun, termasuk Bali.
Ada perjanjian kesepahaman (MOU/Memory of Understanding) antara Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub dengan Pemerintah Provinsi Bali dan Kota Denpasar yang berakhir pada Desember 2024. Salah satu poin nota kesepahaman tersebut adalah tentang pengalihan operasional bus TMD dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Bali.
Namun Pemerintah Provinsi Bali rupanya baru siap mengambil alih biaya operasional bus TMD pada Juli 2025, itupun hanya sebatas di koridor 1 saja. Padahal bus TMD yang dikerjasamakan melalui pemberian stimulus tersebut, saat ini memiliki 6 koridor yang beroperasi di kawasan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita).
Saat ini terdapat 105 armada bus TMD guna melayani 6 koridor tersebut. Sebanyak 95 unit bus dioperasikan setiap harinya; dan 10 unit difungsikan sebagai bus cadangan guna pendukung. 18 unit bus dioperasikan di koridor 1B, 18 unit di koridor 2B, 12 unit di koridor 3B, 17 unit di koridor 5B, dan 13 unit dioperasikan di koridor 6B.
Selama ini terdapat kelemahan perkembangan TMD dan belum banyak diminatinya Trans Sarbagita, karena ada beberapa penyebab. Pertama, kurangnya jumlah halte yang ada. Idealnya jarak antar halte maksimal dalam rentang 400 hingga 500 meter, Sehingga calon penumpang hanya perlu berjalan kaki menuju halte dengan jarak maksimal 200 – 250 meter. Kedua, jumlah armada yang masih sedikit/terbatas.
Keterbatasan ini menyebabkan waktu tunggu antar armada (head-away) bagi calon penumpang menjadi lama. Idealnya head-away hanya dalam durasi kurang dari 10 menit. Sehingga calon penumpang memiliki kepastian waktu tunggu guna menuju ke tempat tujuannya.
Ketiga, belum tersedianya area parkir yang memadai di seputaran halte ataupun terminal, yang memungkinkan pengguna transportasi publik dapat memarkir kendaraan pribadinya dan berlanjut beralih ke bus TMD ataupun Trans Sarbagita. Kondisi ini dalam teori transportasi publik kota dikenal sebagai Park and Ride, sebagai pendukung optimalisasi transportasi publik.
Harus diakui juga bahwa bus TMD dianggap lebih menarik bagi konsumen –dibandingkan Trans Sarbagita- karena ada kenyamanan, kebersihan, dan keamanan di dalam bus. Pada akhirnya semua tergantung kebijakan Pemerintah Provinsi Bali. Hampir semua kota destinasi pariwisata berkelas dunia selalu mengandalkan moda angkutan publik.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Uran Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar