I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Dibandingkan ritual Tumpek lainnya, Tumpek Wayang memiliki beberapa kekhususan. Hari suci ini merupakan Tumpek (pertemuan Saptawara dan Pancawara) terakhir dalam siklus Pawukon yang jumlah Wukunya 30 buah. Selain itu, Wuku Wayang juga dipandang sebagai wuku yang memiliki nuansa magis/mistis. Dalam kepercayaan Bali, mereka yang lahir pada Wuku Wayang hendaknya melakukan ruwatan atas kelahirannya guna menghindari hal-hal negatif yang kemungkinan terjadi menimpanya.

Merujuk teks Kala Purana/Kala Tatwa diceritakan bahwa kelahiran Bhatara Kala itu berasal dari air mani Bhatara Siwa yang jatuh ke samudera akibat tidak bisa menahan hasrat asmaranya kepada Bhatari Uma. Karena kejadian itulah kemudian Sang Kala lahir sebagai
sosok sangat kuat dan mampu mengalahkan para Dewa. Untuk mengendalikan kekuatan dahsyatnya itu, Bhatara Siwa akhirnya turun
dan memberikan anugerah kepada Sang Kala dengan membolehkannya memakan manusia yang lahir pada Wuku Wayang.

Tak lama kemudian, adiknya, Hyang Rare Kumara juga lahir pada waktu hampir bersamaan, sehingga boleh dimakan Bhatara Kala. Lantaran begitu besarnya rasa cinta pada sang anak, Bhatara Siwa berupaya menunda, namun keinginan Bhatara Kala tak bisa diredam. Rare Kumara pun diincar lalu dikejar-kejar, hingga akhirnya bersembunyi dengan aman di sebuah gender pementasan wayang.

Baca juga:  Milenial sebagai Promotor Pariwisata

Mungkin karena kelelahan dan kelaparan, Sang Kala tanpa basa-basi memakan sesajian yang sebenarnya diperuntukkan bagi sang dalang. Dari sinilah kemudian muncul “kesepakatan” antara Bhatara Kala dan sang dalang, bahwa mereka yang lahir pada Wuku Wayang akan terbebas dari takdirnya dimakan Sang Kala jika diruwat Wayang Sapuh Leger.

Kata “Sapuh” berarti ‘ruwatan’, “leger” artinya kekotoran (mala) yang melekat pada diri manusia. Jadi, ritual Sapuh Leger itu adalah prosesi
pembersihan (ruwatan sarwa mala) secara niskala yang dibawa sejak lahir, khususnya pada kelahiran seseorang di Wuku Wayang, terlebih
jika tepat saat Tumpek Wayang.

Tentu tidak selesai hanya dengan melakukan ritual simbolik, penting sekali disertai perubahan secara behavioristik. Perihal bagaimana sikap dan perilaku umat dalam memahami dan menghargai “Sang Kala” yang tiada lain “Sang Waktu” itu sendiri. Bahwa manusia berada di dalam pusaran dan terikat oleh waktu.

Baca juga:  'Over Supply'' Kamar, Ancaman Terbesar Pariwisata Bali

Hanya sang waktu yang abadi di alam semesta ini, sementara yang ada di dalamnya terus berputar dari waktu ke waktu dan pastinya akan mengalami perubahan. Dari kelahiran (utpeti) bergerak dinamis menjadikan manusia terpelihara (sthiti) dengan segala aktivitas kerja yang menopang kehidupannya, hingga akhirnya kembali lagi ke ujung waktu, menunggu proses pengembalian (pralina) pada sang penguasa dan pegendali waktu.

Jadi, kelahiran menjadi manusia itu bersifat sementara, sekejap bahkan tak ubahnya seperti kelebatan kilat. Sloka kitab suci Sarasamuscaya, 8 dengan jelas menyuratkan: “Iking tang janma wwang, ksanikaswabhawa ta ya, tan pahi lawan kedapning kilat, durlabha towi, matangnyan pongakenaya ri kagawayaning dharmasad-
hana, makarananging manacanang sangsara, swargaphala kunang” (menjelma menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tak beda dengan
kerdipannya petir, sungguh sulit, karenanya pergunakanlah itu untuk melakukan dharma sadhana yang menyebabkan musnahnya penderitaan, surgalah pahalanya itu).

Dikaitkan dengan rerainan Tumpek Wayang yang diperingati setiap Saniscara Kliwon wuku Wayang, selain dimaknai sebagai ritual “ngotonin” Wayang dan kesempatan “nyapuh leger”, lebih mengena lagi jika disertai kesadaran menghargai dan menggunakan waktu hidup di dunia yang sekelebat ini dengan melakukan hal-hal berguna. Sang Kala telah mengatur dengan teratur pemanfaatan waktu secara alamiah dengan mengikuti ritme metabolisme/organisme tubuh/fisik manusia. Kapan waktunya berkegiatan (bekerja, mencari nafkah, bersosialisasi, dll), melaksanakan kewajiban agama (ngaturang
bhakti), menyenangkan diri (hiburan, refreshing) dan jangan lupa beristirahat (tidur).

Baca juga:  Bali, Refleksi Pariwisata Berkelanjutan

Semua aktivitas itu akan mendapat manfaat jika dilakukan sesuai waktunya. Sebaliknya mendatangkan masalah, celaka bahkan musibah jika melawan sang waktu. Seperti halnya sang surya yang begitu disiplin dan rutin terbit di ufuk timur dan terbenam di barat.

Menjadikan kehidupan di dunia beserta manusia penghuninya berjalan sesuai kodrat alam. Begitu jugalah makna ritual Tumpek Wayang, menjadi momen penting bagi umat untuk berkomitmen menghargai dan menggunakan waktu dengan tepat, baik, benar dan bijak.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *