Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Hari suci Siwaratri dilaksanakan setiap purwaning tilem kapitu (hari ke-14 paro gelap), yang diyakini sebagai malam beryoganya Sang Hyang Siwa, sehingga siapa pun yang memujanya saat itu, akan mendapat anugerah pembebasan dari segala “papa” (noda/kekotoran). Ritual Siwaratri menjadi titik kulminasi kesadaran Illahi untuk membangkitkan energi rohani/jiwani yang kemudian pelan tapi pasti dapat mengurangi bahkan meninggalkan kemelekatan materi/bendani yang bersifat sementara, semu, palsu, bahkan sering menipu.

Selama tingkat kesadaran manusia masih bergerak dan bermain di tataran materi guna memenuhi hasrat duniawi yang bersifat indrawi,
keberadaan sang jiwa (roh) tidak akan pernah berkesadaran, tetap terbelenggu kegelapan/kebodohan (awidya) yang menyebabkan “papa”, dalam segala bentuknya: suka, duka, nestapa, dosa, dsb. Namun, bila umat dapat menjadikan momen sakral Siwaratri sebagai anak tangga pendakian spiritual, maka jalan menuju “Kesadaran Sang Diri” — matutur ikang atma ri jatinya niscaya akan tercapai.

Hanya saja sebagaimana sudah terlanjur menjadi pengetahuan umat (awam), rerainan Siwaratri dianggap sebagai malam penebusan dosa.
Hanya dengan begadang semalam suntuk, segala dosa dapat ditebus. Dikira seperti kinerja pegadaian, begitu uang pinjaman dikembalikan, barang gadaian bisa ditebus (diambil). Bagaimana halnya dengan seorang penjaga malam (waker) yang hampir setiap malam melek, logikanya tentu akan terhapus juga semua dosa-dosanya.

Baca juga:  Heuristik Elektoral

Anggapan rada nyaplir bin sangglir ini selain terkesan diplintir juga salah tafsir dalam memaknai kisah sosok Lubdaka sebagai pemburu yang tentunya banyak dosa, namun berhasil mencapai surga atas anugerah Dewa Siwa. Narasi singkat “satua” Lubdaka seolah melegitimasi, bahwa dosa itu dapat (dengan mudah) ditebus. Walau dalam konteks ini, “satua” bisa saja berarti ‘sat tuara ada’ (suatu hal yang tidak ada).

Namun tetap saja alur cerita sukses Lubdaka masuk surga ini telah menginspirasi, memotivasi, mengsugesti bahkan mengobsesi sebagian umat, lalu berniat, bergiat dengan penuh semangat mengikuti ritual malam Siwaratri, meski dalam praktiknya menyimpang dari hakikat amanatnya. Secara filosofis, Siwaratri sejatinya adalah malam perenungan, tepatnya kesadaran, saat mana di tengah kegelapan menjelang malam tilem kapitu, Dewa Siwa sedang beryoga.

Baca juga:  Pelaksanaan Siwaratri di UNHI Berlangsung Khusyuk

Sepatutnya umat Hindu menjalankan sadhana spiritual dalam bentuk tapa-rata-yoga-samadhi. Setidaknya dengan kesadaran melaksanakan Tri Brata: menahan nafsu makan-minum (upawasa), mengendalikan perkataan (mona), dan selalu dalam keadaan sadar/eling (jagra). Pesan moralnya, bukan terkait obsesi seorang pendosa masuk surga,
melainkan pada kesadaran bhakti, sebagaimana tersurat dalam kitab suci Bhagawadgita, IX. 30: “Bahkan seandaianya seorang yang terjahat sekalipun yang memuja Aku dengan kesadaran bhakti yang terpusat ia harus dipandang ada di jalan yang benar sebab ia telah bertindak menuju ke arah yang benar”. Inilah sebenarnya surga sejati, bahkan dapat melampauinya: mencapai Moksa — Sang sangkan paraning dumadi.

Sudah saatnya, ritual suci Siwaratri ditempatkan pada posisi sakralnya, bukan menyulapnya menjadi ajang seremonial. Lanjut dilaksanakan sejalan kandungan serat amanat dan hakikat ajaran Siwaistik yang menjadikan Siwa sebagai Realitas Tertinggi untuk selalu dituju lalu dicapai melalui bhakti berkesadaran (cetana), bukan
tanpa kesadaran (acetana).

Baca juga:  Sehari Sebelum Siwaratri, Ayu Saraswati Luncurkan Video "Siwa Ratri"

Terlebih di zaman Kali saat ini yang dominan dipengaruhi maya tattwa: kesemuan, kepalsuan duniawi dan berkecenderungan mengalahkan kesadaran jiwani/rohani. Oleh karena itu, mengadopsi pandangan Piliang (2005), jangan sampai hari suci Siwaratri dijadikan kesempatan “pemanjaan hasrat”, melainkan dapat dimanfaatkan sebagai momen “penyucian jiwa”.

Tentunya dengan terus meningkatkan pengetahuan rohani. Harapannya agar umat semakin menguat kesadaran bhaktinya,
sebagaimana ditegaskan sloka Bhagawadgita, IV. 36 : “Walaupun seandainya engkau paling berdosa, di antara manusia yang memikul dosa, dengan perahu pengetahuan (rohani) ini, lautan dosa engkau akan seberangi”.

Intinya, melalui ritual suci Siwaratri umat dapat memetik hakikat katattwan (kebenaran/kesadaran) yang dilandasi jnana (pengetahuan suci) untuk kemudian menjadikan diri semakin wijnana (bijaksana). Baik dalam konteks beraktivitas ritual (yadnya), terlebih lagi dalam mengimplementasikan kandungan nilai ajarannya secara kontekstual sejalan dinamika, fenomena dan realita kehidupan umat Hindu kontemporer yang semakin sekuler.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *