DENPASAR, BALIPOST.com – Perizinan investasi melalui sistem online single submission (OSS) mempermudah proses perizinan berusaha disinyalir menjadi penyebab maraknya pelanggaran pembangunan di Bali. Aparat sering kecolongan dalam melakukan pengawasan pembangunan usaha oleh investor.
Banyak pembangunan usaha yang dilakukan menyebabkan kerusakan pada alam, budaya, dan lingkungan. Pasalnya, aparat baru mengetahui adanya pelanggaran pembangunan usaha jika pembangunan sudah dilakukan yang hanya mengantongi izin OSS. Hal ini diungkap Kasatpol PP Provinsi Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi, Rabu (29/1).
Dewa Dharmadi mengatakan pelanggaran investasi yang terjadi di Bali tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Pusat yang memberikan kemudahan investasi seluas-luasnya kepada investor melalui kebijakan izin investasi berbasis OSS. Di dalam izin OSS tidak lagi mewajibkan adanya penyanding, kepatuhan terhadap tata ruang, wilayah kesucian pura, dan lainnya yang berkaitan dengan kearifan lokal Bali.
Hal ini menyebabkan investor langsung membangun usaha karena sudah mengantongi izin berbasis OSS tersebut. “Ini yang menyebabkan banyak terjadi pelanggaran berinvestasi yang dilakukan para investor di Bali,” tegasnya.
Ia mengakui pihaknya sering kecolongan dalam melakukan pengawasan pembangunan usaha yang dilakukan investor yang mengantongi izin investasi berbasis OSS tersebut. Jangankan aparat di lingkungan Provinsi Bali, di daerah kabupaten/kota tempat pembangunan ijin usaha tersebut dilakukan pun sering kecolongan dalam pengawasannya. “Tahu-tahu (investor,red) sudah mengantongi izin, karena pemenuhan administrasi itu melalui aplikasi, dan penanam modal asing itu sepenuhnya tanggung jawab Pemerintah Pusat,” ungkapnya.
Akibat kondisi ini, Dewa Dharmadi pun membantah jika Satpol PP dituding melakukan pembiaran terhadap pelanggaran usaha yang dilakukan investor. Sebab, izin investasi berbasis OSS ini yang menjadi penyebab sulitnya melakukan deteksi pengawasan di awal pembangunan. Pelanggaran akan diketahui jika investor sudah melakukan pembangunan usaha.
“Itu (izin investasi OSS,red) yang menyebabkan, bukan pembiaran. Karena kadang-kadang saat membangun baru ketahuan bahwa mereka sudah mengantongi izin, baru kita lakukan pengawasan dan intensifkan kesesuaian izin yang dikantongi. Kalau memang tidak ada kesesuaian kita tegur, kita ingatkan, dan akan kita hentikan (kalau melanggar,red), jangan sampai investasi itu mengganggu kearifan lokal. Itu yang sering kita kadang banyak kecolongan di sana. Dan kita pun dari Pemerintah Provinsi melalui Gubernur sudah menyampaikan keberatan untuk peninjauan kembali kebijakan perijinan melalui OSS agar diberlakukan khusus untuk di Bali, sehingga lebih mudah kontrol dan pembatasan-pembatasannya,” tegasnya
Ketua PHRI Badung, I Gusti Agung Ngurah Suryawijaya membenarkan hal itu. OSS tak bisa dikontrol di daerah. Bahkan dia mengkritisi PMA yang bermodalkan investasi Rp10 miliar diberikan kemudahan.
Untuk ukuran di Bali, kata dia, minimal PMA investasi Rp500 miliar baru diberikan berbagai kemudahan. “Ini perlu dipikirkan oleh pemimpin Bali ke depan,” katanya dalam acara Dialog Merah Putih, Rabu (29/1).
Pada bagian lain Dewa Dharmadi pun mendorong masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam melakukan pengawasan jika ada pembangunan usaha yang dilakukan oleh investor di wilayahnya masing-masing. Pihaknya akan mengapresiasi masyarakat jika mau melapor ke tim pengawas pembangunan jika menemukan adanya potensi pelanggaran pembangunan usaha yang dilakukan investor.
Dikatakan bahwa saat ini hampir di semua daerah kabupaten/kota termasuk provinsi sudah membentuk tim pengawas pembangunan yang terdiri dari beberapa OPD (organisasi perangkat daerah) teknis terkait. Tim ini akan menindaklanjuti jika menemukan masalah dan menerima laporam dari masyarakat jika ada pelanggaran pembangunan usaha yang dilakukan oleh investor. Tim akan memilah dan memilih siapa yang yang memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti permasalahan yang ditemukan di lapangan.
“Kalau memang pusat punya kewenangan tentu beberapa hasil temuan-temuan kami di lapangan kita sampaikan ke pusat untuk dilakukan peninjauan kembali. Kalau itu kewenangannya kabupaten/kota tentu kami sampaikan ke kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti. Kalau itu kewenangannya provinsi dengan risiko menengah tinggi tentu kami yang menindaklanjuti, melibatkan juga kabupaten/kota selaku yang memiliki wilayah,” ujarnya. (Ketut Winata/Sueca/balipost)