Prof. Dr. I Made Sudarma, M.S., saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Unud, Sabtu (1/2). (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Bali, Dr. I Made Sudarma, M.S., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Udayana (Unud), Sabtu (1/2). Salah satu penulis sekaligus narasumber aktif Koran Harian Umum Bali Post ini menyandang Guru Besar Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Fakultas Pertanian Unud.

Ia dikukuhkan oleh Rektor Unud, Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, S.T.,Ph.D., bersama 10 orang Guru Besar Tetap Unud lainnya, di Auditorium Widya Sabha Unud Jimbaran.

Dalam pengukuhan tersebut, Prof. Dr. I Made Sudarma, M.S., membawakan orasi berjudul “Valuasi Ekonomi: Instrumen Pengendalian Alih Fungsi Lahan Menuju Pembangunan Berkelanjutan”. Terkait alih fungsi lahan, Prof. Sudarma mengatakan alih fungsi lahan sawah di Bali terus berlanjut dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kondisi ini terjadi akibat tekanan ekonomi, sosial, dan perkembangan pariwisata yang pesat di wilayah hampir di semua kabupaten. Di samping pertumbuhan penduduk yang membutuhkan perumahan serta fasilitas umum.

Baca juga:  Dari Bali Mayoritas Masih Zona Merah hingga Syarat PPDN via Bandara Ngurah Rai Disederhanakan

Percepatan alih fungsi lahan dipicu juga terjadi akibat dari hasil ekonomi alih fungsi lahan lebih tinggi dibandingkan pertanian dan kurangnya minat generasi penerus untuk melanjutkan pekerjaan sebagai petani karena dianggap kurang menguntungkan dan berat.

Diungkapkan, pada tahun 2023 jumlah lahan sawah di Bali hanya seluas 68.560 hektar. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan luas lahan sawah tahun 2018 yang mencapai 76.083 hektar. Penurunan seluas 7.523 ha (9,88 %). Jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun yaitu dari tahun 2013 – 2023, terjadi penurunan luas areal sawah yang cukup signifikan yaitu seluas 12.605 ha (15,53 %), yaitu dari 81.165 ha tahun 2013 menjadi 68.560 ha pada tahun 2023.

Dilihat dari sistem pengairannya, 99,27 persen sawah di Bali merupakan sawah irigasi yang sangat potensial untuk ditanami padi, sedangkan sisanya sebanyak 0,73 persen merupakan sawah tadah hujan yang hanya ada di 3 kabupaten, yakni Kabupaten Jembrana, Karangasem, dan Buleleng. “Bila konversi lahan sawah terus berlanjut, tidak hanya ketersediaan pangan yang terancam tetapi degradasi lingkungan yang menimbulkan bencana juga semakin meningkat,” ujar Prof. Sudarma.

Baca juga:  Tiga Hari Berturut-turut, Tambahan Pasien COVID-19 Sembuh Jumlahnya Sama!

Prof. Sudarma mengatakan alih fungsi lahan sawah akan memunculkan ancaman terhadap ketahanan pangan, kehidupan sosial budaya, kearifan lokal, dan juga lingkungan. Alih fungsi lahan sawah juga telah berdampak negatif terhadap keindahan lanskap sawah, ancaman eksistensi keberadaan subak dan semakin meningkatnya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau.

Bencana hidrometerologis seperti banjir dan longsor di saat musim hujan yang cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini di Provinsi Bali patut diduga adalah dampak dari meningkatnya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan yang mengubah struktur tanah seperti pengerasan permukaan karena pembangunan infrastruktur seperti jalan, bangunan, dan lainnya membuat tanah kehilangan porositasnya, sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah dan ini memicu banjir dan longsor.

Baca juga:  Pastikan Thermal Scanner di Bandara Ngurah Rai Berfungsi, Wagub Cok Ace Lakukan Ini

Prof. Sudarma mengatakan memberikan nilai ekonomi pada lahan sawah hanya berdasarkan fungsi ekonomi semata akan mengancam terjadinya bencana alam dan gangguan ekosistem karena peranan lahan sawah dalam fungsi ekologis diabaikan. Karena itu, memberikan nilai atas keberadaan jasa lingkungan (valuasi ekonomi) dan sosial budaya lahan sawah merupakan penilaian yang adil dalam menjaga keberlanjutan pembangunan. Terlebih Provinsi Bali yang telah mengambil banyak manfaat dari keberadaan lahan sawah selain menjaga ketahanan pangan, keberadaan lahan sawah dengan terasering dan budayanya hadir menjadi penggerak berkembangnya pariwisata di Bali. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *