Visualisasi Dewa Siwa digunakan di salah satu klub malam di Berawa, Badung. Penggunaan simbol agama Hindu ini membuat Pj Gubernur Bali meminta agar pengelolanya dipanggil. (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sebuah video yang memperlihatkan visualisasi Dewa Siwa ditampilkan di Atlas Beach Club menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama umat Hindu di Bali. Banyak yang merasa kecewa dan menyayangkan insiden tersebut, meskipun ada juga yang menilai permintaan maaf dari pihak terkait sudah cukup.

Menurut Gusti Jasiana (22),  seorang warga Pejeng, Gianyar, pihaknya merasa kecewa yang mendalam terhadap penggunaan entitas Dewa Siwa sebagai bagian dari hiburan malam.

“Sebagai masyarakat Hindu Bali, saya sangat miris dan kecewa di mana entitas Dewa Siwa digunakan sebagai ajang hiburan. Dewa Siwa merupakan entitas tertinggi dalam kepercayaan Hindu, baik di Bali maupun di seluruh Indonesia. Seharusnya, hal-hal sakral seperti ini tidak digunakan di tempat yang tidak sesuai dengan nilai kesuciannya.”

Senada dengan Jasiana, I Komang Wahyu Setyana Payusta (21) dari Kintamani juga mengkritik keras visualisasi tersebut

Baca juga:  Tim Gabungan Razia di LP Singaraja, Temukan Cairan Tembakau dan Miniatur Panah

“Menurut saya, menampilkan Dewa Siwa di klub malam itu sangat tidak pantas. Kita sebagai umat Hindu memuja dan meyakini beliau sebagai salah satu Trimurti, mengapa harus ditampilkan di tempat seperti itu? Ini bisa menimbulkan konflik di masyarakat yang tidak terima. Jadi, saya harap kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” ujarnya, Jumat (7/2).

Sementara itu, Galih Uky Sulistyanto (24) dari Banyuwangi melihat kejadian ini dari sisi perkembangan zaman. Namun, ia tetap menilai bahwa penggunaan simbol suci di tempat hiburan adalah tindakan yang kurang tepat.

“Di era modern ini, banyak tempat hiburan seperti klub malam yang berkembang, tetapi menampilkan Dewa Siwa di sana bukanlah langkah yang bijak. Esensi kesakralannya hilang dan berubah menjadi sekadar tontonan kontemporer. Ini bisa menjadi evaluasi bagi kita semua bahwa tidak semua hal bisa ditempatkan sembarangan,” sebut Galih.

Baca juga:  Umat Hindu Diajak Ambil Bagian Dalam Pembangunan Teknologi Industri

Terkait pihak manajemen Atlas yang sudah meminta maaf, Jasiana menilai hal itu adalah langkah yang baik dan sesuai dengan ajaran Hindu.

“Kalau mereka sudah mengakui kesalahan, sebaiknya kita maafkan. Dalam ajaran Bhagavad Gita disebutkan bahwa orang yang mengakui kesalahannya adalah seorang ksatria. Lagipula, pihak desa adat juga sudah menerima permintaan maaf dan mengaturkan guru piduka sebagai bentuk penyelesaian,” ujar Jasiana.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Wahyu yang melihat kejadian ini sebagai pelajaran. “Jika mereka sadar dan mengakui kesalahan, kita maafkan untuk pertama kalinya. Namun, jika hal ini terulang kembali, barulah kita bawa ke ranah hukum agar ada efek jera bagi pelaku.”

Baca juga:  Bangun Indonesia Kuat dari Keluarga

Namun, Galih menilai bahwa harus ada tindakan tegas untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. “Jika tidak ada tindakan lanjutan, saya khawatir hal ini akan terulang lagi. Harus ada langkah tegas agar simbol-simbol suci agama tidak digunakan secara sembarangan di tempat hiburan,” tegasnya.

I Komang Anggapratama Putra dari Bangli juga sepakat bahwa kasus ini perlu ditindaklanjuti secara hukum agar ada kejelasan dalam permintaan maaf dan konsekuensinya.

“Menurut saya, kasus ini perlu dibawa ke ranah hukum agar mereka meminta maaf secara keseluruhan, baik melalui Guru Piduka maupun secara resmi kepada MDA atau PHDI. Dengan begitu, permintaan maaf dilakukan secara sekala (dunia nyata) dan niskala (spiritual),” katanya. (Andin Lyra/Agus Pradnyana/Pande Paron/Wahyu Widya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *