MANGUPURA, BALIPOST.com – Mundurnya I Kadek Made Arta dkk., menjadi penasihat hukum Kepala Desa Bongkasa, terdakwa I Ketut Luki, sedikit mengubah agenda persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar. Pihak terdakwa yang sebelumnya ingin mengajukan eksepsi, namun dalam sidang, Senin (10/2), tidak lagi mengajukan eksepsi.
Sehingga sidang diminta oleh hakim yang diketuai Putu Gede Novyarta, langsung pembuktian sehingga hakim minta JPU menghadirkan saksi. Karena JPU belum siap, maka sidang bakalan dilanjutkan pada, Jumat (28/2) mendatang.
Sebelumnya pada Rabu (22/1) lalu, Perbekel atau Kepala Desa Bongkasa, I Ketut Luki, didudukan di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Denpasar. Pria beralamat di Banjar Tanggayuda Bongkasa, Desa Bongkasa, Abiansemal, itu sebelumnya di-OTT petugas Polda Bali.
JPU Made Edy Setiawan, Ni Luh Oka Ariani Adikarini, Agung Gede Lee Wisnhu Diputera, dkk, membacakan peristiwa yang dilakukan terdakwa di hadapan majelis hakim tipikor yang diketuai Putu Gede Novyarta dengan hakim anggota Nelson dan Imam Santoso.
Sesuai dakwaan, Perbekel Luki memang bernasib apes. Hanya karena uang Rp 20 juta, dia terancam hukuman minimal empat tahun penjara karena JPU dari Kejati Bali mendakwa terdakawa dengan pasal 12. Persisnya, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaima yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan huruf g pasal dan UU yang sama. Dalam UU tersebut, ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan minimal 4 tahun.
Jaksa dalam surat dakwaaan menjelaskan, Luki selalu Perbekel Bongkasa diangkat berdasarkan Keputusan Bupati Badung 24 Mei 2022.
Apesnya, pada Selasa 5 November 2024 sekitar pukul 10.25 Wita, bertempat di areal parkir utara Kompleks Pusat Kantor Pemerintah Kabupaten Badung, Jalan Raya Sempidi, untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam hal ini menguntungkan diri terdakwa I Ketut Luki, secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya dalam Pengelolaan Keuangan Desa. (Miasa/Balipost)