Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Selepas umat Hindu melaksanakan hari suci Saraswati pada Sabtu/Saniscara Umanis wuku Watugunung, sebagai hitungan terakhir
sistem pawukon, datang kembali putaran wuku pertama yaitu Sinta. Awal wuku ini dimulai dengan aktivitas ritual Banyu Pinaruh (Minggu/Redite Pahing wuku Sinta), yang lumrah ditandai dengan “mandi suci” di sumber-sumber air (laut, pancuran, beji, dll).

Maknanya, dengan aliran ilmu pengetahuan (duniawi-rohani) sebagai anugerah Dewi Saraswati (Sakti Brahma), umat dapat menggunakannya untuk bekal/modal mencari penghidupan sampai memperoleh kesejahteraan, yang kemudian diperingati keesokan harinya melalui Soma Ribek (Senin/Soma

Pon wuku Sinta). Dipercaya sebagai momen datangnya berkah (amertha) dari Bhatari Sri (kesuburan) dan Dewi Laksmi (kesejahteraan), Sakti Dewa Wisnu selaku pemelihara kehidupan
segenap makhluk, terutama manusia. Setelah menikmati kesejahteraan, karunia Hyang Widhi tiada berhenti hingga umat mencapai tarap hidup makmur yang dieskpresikan melalui rerahinan Sabuh Mas (Selasa/Anggara Wage wuku Sinta).

Disebut juga odalan artha brana (kekayaan), hari suci pemujaan Dewa Mahadewa sebagai tanda syukur atas kelimpahan harta berupa barang berharga seperti perhiasan, khususnya berbahan logam emas sebagai simbol kemakmuran atau kemuliaan. Selanjutnya agar tidak menjadi jumawa, takabur, sombong atau lupa diri atas peningkatan capaian tingkat kehidupannya, umat diingatkan kembali melalui ritual suci Pagerwesi (Rabu/Buda Kliwon wuku Sinta) yang menurut lontar Sundarigama merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi para Dewata Nawa Sangga.

Baca juga:  Aktivitas Penyeberangan Gilimanuk Meningkat, Banyak Penonton MotoGP Transit di Bali

Sejalan dengan arti kata “Pagerwesi” : Pager” (pagar/pageh) dan “wesi” (besi), benda logam yang dikenal kuat/kokoh. Amanatnya
adalah umat diharapkan tiada henti melakukan peneguhan/penguatan iman (sradha), sehingga tidak mudah luluh, rapuh, runtuh keyakinannya pada kebenaran dan kebesaran

Tuhan, lalu terjerembab ke jurang kepapaan (nista, nestapa, dan dosa). Sebab, bagi umat yang dengan sungguh dan teguh menguatkan sradha-bhakti kepada Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Kuasa akan dapat mencapai-Nya.

Sloka Bhagawadgita, XII. 2 dan 20 menyuratkan: “Mereka yang memusatkan pikirannya pada-Ku dengan menyembah-Ku dan senantiasa bersungguh-sungguh serta memiliki keyakinan yang sempurna, merekalah yang Aku anggap paling sempurna dalam yoga; Mereka yang penuh keyakinan memandang-Ku sebagai tujuannya yang tertinggi, mengikuti kebijaksanaan abadi ini, bhakta yang demikian itulah yang paling Aku sayangi”.

Baca juga:  Data OTA, Bali Paling Dicari di Penjualan Tiket Online

Sebaliknya bagi umat yang tidak memiliki keimanan/keyakinan (sradha) dengan tegas dinyatakan konsekuensinya di dalam kitab Bhagawadgita, IX. 3: “Orang yang tidak memiliki keyakinan dengan cara ini tak akan mencapai Aku, wahai Paramtapa (Arjuna), dan akan kembali ke dunia kehidupan fana (samsara).

Seperti itulah yang akan dialami bagi siapa saja yang lemah iman, rapuh keyakinan pada kekuasaan Tuhan. Terlebih yang karena menuruti hasrat ahamkara (ego, ambisius), ingin memiliki bahkan menguasai anugerah Tuhan berupa alam (hutan, gunung, bukit, danau, sungai, laut plus pantainya) yang sebenarnya diperuntukan bagi kemaslahatan orang banyak, bukan dikuasai sendiri lewat korporasi.

Antara lain dengan modus Pagar Laut seperti terkuak di Tangerang dan belakangan terendus juga di Pulau Serangan.

Bila diselidik dan diulik dari makna hari suci Pagerwesi, tindakan membangun Pagar Laut tersebut jelas “nungkalik”, karena merefleksikan kelemahan, kerapuhan dan keruntuhan iman (sradha). Tidak saja para pihak yang berada di jaringan korporasi (pengusaha), juga jajaran pejabat pemberi rekomendasi (menyetujui), yang jejak riwayatnya terekam dalam peristiwa reklamasi sarat kontroversi dengan tujuan penyatuan daratan kawasan Denpasar Selatan dengan Pulau Serangan.

Baca juga:  Ditabrak Bus, Pemotor Tewas

Tak terkecuali sebagian unsur dalam masyarakat setempat (oknum) yang boleh jadi turut bermain sekaligus mengambil keuntungan dari bisnis pariwisata dengan mengomersialisasi kawasan sakral Pulau Serangan, dimana berdiri kokoh Pura Sakenan, sthana Ida Hyang Baruna/Ida Bhatara Sakya Muni.

Pura Sakenan yang tergolong Dang Kahyangan jagat Bali ini, sejatinya adalah simbol keteguhan/kekukuhan iman (sradha) umat Hindu, sekaligus sebagai benteng kekuatan gaib (niskala) yang senantiasa memagari kawasan Pulau Serangan beserta krama/umat Hindu agar selalu dalam keadaan aman, tentram, sejahtera, selamat, sentosa, damai dan bahagia.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *