I Wayan Suartana. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Suartana

Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) 1/2025 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 29/2025 tentang efisiensi belanja negara. Nilainya sebesar Rp306,69 triliun termasuk memangkas Transfer ke Daerah sebesar Rp50,59 triliun. Bagi pemerintah daerah (Pemda) kebijakan ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah dalam mengelola APBD 2025.

Sudah lama APBD Bali tergantung dana transfer dan sektor pariwisata beserta turunannya. Malah, pada saat pandemi Covid-19 Bali diberikan stimulus khusus untuk menyelamatkan diri dari keterpurukan. Sektor pariwisata saat itu berada pada titik nadir sampai ke besaran negatif dan APBD pun lumpuh total. Trauma menghantui semua lapisan masyarakat Bali sampai saat ini.

Dana transfer dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) menempati porsi yang signifikan pada daerah yang kemampuan fiskalnya rendah. Kabupaten Badung, Gianyar dan kota Denpasar mempunyai PAD tinggi  berasal dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) dengan proporsi yang cukup kuat. PHR seperti Badung juga didistribusikan ke daerah lain di Bali dengan semangat gotong royong. Bisa dibayangkan bila PHR juga mengalami penurunan, praktis hanya akan mengandalkan uluran tangan pemerintah pusat.

Baca juga:  Perlindungan Bali Dari Dampak COVID-19

Sektor Pariwisata akan berdampak dengan kebijakan efisiensi anggaran ini. Industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) kemungkinan akan terpukul akibat larangan perjalanan dinas dan pertemuan atau sejenisnya. MICE sangat diandalkan karena mempunyai hubungan dekat produksi  dengan restoran dan kamar hotel. Sektor konstruksi, perdagangan, dan jasa juga akan merasakan dampaknya, karena mereka mengandalkan kucuran dana APBD sebagai rekanan.

Ada semacam kekhawatiran, pemangkasan bisa saja menurunkan mutu layanan publik, terutama pada layanan dasar. Kabupaten/kota bisa jadi akan  menggunakan “pertolongan” dana transfer untuk mendukung operasional primer meskipun dana transfer terpangkas juga. Ketidakpastian juga melanda sektor pariwisata akibat turbulensi ekonomi dan geopolitik dunia.

Baca juga:  BUMDes Pilar Ekonomi Desa

Perdefinisi, efisiensi terjadi manakala pemotongan anggaran dilakukan pada bagian yang kurang produktif, tidak bernilai tambah dan pemborosan belanja serupa sunk cost yang tidak bisa direcoveri. Namun, jika pemangkasan justru dilakukan pada komponen vital nan esensial ditakutkan akan menimbulkan biaya sosial tinggi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi tersendat.

Menghadapi pemangkasan ini, pemda di Bali (Provinsi, Kabuapen-Kota) harus segera menyesuaikan jurus fiskalnya agar tetap bisa menjalankan program prioritas. Normatifnya, skenario yang harus dilakukan adalah menjadikan optimalisasi PAD sebagai bumper utama. Optimalisasi PAD merupakan hasil produk proses politik yang elegan, dalam artian legislatif solid mendukung skema kebijakan fiskal yang ditawarkan. Hal lain yang bisa dikaji adalah mengembangkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan strategi privatisasi  dan aliansi, dengan catatan, bila aturan memungkinkan.

Digitalisasi proses bisnis internal dalam tata kelola dan tata pamong pemerintahan diharapkan bisa memastikan penurunan biaya kantor dan biaya administrasi lainnya. Pemda menjadi agen perubahan dalam menata ulang sistem terintegrasi pada berbagai layanan dengan tetap memperhatikan biaya dan manfaatnya, kesiapan SDM dan persistensi pemeliharaan.

Baca juga:  Drama Gong, Teater yang Elegan

Fenomena kontekstual pemangkasan dana transfer ke daerah merupakan ujian bagi pemda dan pekerjaan rumah yang maha berat bagi daerah-daerah yang portofolio PAD-nya belum optimal. Ontologi efisiensi bukan sekadar mengurangi nominal kasat mata, tetapi memastikan setiap klentingan rupiah yang dibelanjakan benar-benar mempunyai luaran yang jelas serta keyakinan berdampak positif.

Pemantapan kemandirian fiskal yang sehat dengan berbagai portofolio kebijakan menjadi sebuah obligasi bagi kepala-kepala daerah baru yang sebentar lagi akan dilantik. Pemda di Bali seyogianya mengembangkan budaya efisiensi dengan memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan dasar urgensi tinggi.

Proyek-proyek mercusuar ambisi legasi sebaiknya ditunda. Legasi tidak hanya diwakili oleh ukuran-ukuran fisik tetapi juga mengedepankan sistem nilai.

Penulis, Guru Besar FEB Unud – Koprodi Doktor Ilmu Akuntansi FEB Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *