Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kekayaan telah menjadikan manusia bersemangat untuk menempuh berbagai kesulitan dalam hidup serta kehidupan. Itu jika memang manusia memiliki spirit yang asli ataupun original. Artinya bersemangat secara benar.

Ini berarti bahwa tidak ada kemakmuran tanpa adanya kekayaan dengan jalan bahwa ada kegiatan penting. Kegiatan penting inilah yang menjadikan kekayaan sebagai sesuatu yang berarti guna menyambung kehidupan. Yaitu kehidupan secara layak.

Kehidupan yang layak sudah pasti ada standar tersendiri, namun ada yang lebih diutamakan dari sekedar penstandaran tersebut yaitu tidak menjadikan standar sebagai bentuk kefanatikan tersendiri pula melainkan sebagai sekedar alat dalam mengukur.

Inilah sebuah bentuk kesadaran tersendiri dalam menentukan tingkat kemakmuran agar tidak terkamuflase oleh kekayaan. Tidak terkamuflase berarti di sini adalah tidak dijebakkan dalam kenyataan yang sebetulnya tidak sungguh-sungguh diperuntukkan untuk yang menampak demikian.

Uang agar tidak dijebakkan untuk menjerumuskan akan tetapi untuk menunjukkan agar hidup yang lebih mendamaikan. Namun, bukan dengan uang untuk menjadi damai. Melainkan dengan uang tidak menjadi berkonflik. Itu pertanda fungsi keuangan dan uang agar tidak dijadikan jebakan. Sebaliknya agar keluar dari jebakan terutama dari kamuflase permulaan dan permulaan dari kemunculan kamuflase atas keberadaan uang yang disalahgunakan dalam hidup.

Baca juga:  Anggota Polisi Diingatkan Tak Pamer Kekayaan

Untuk itu kehidupan yang pernah dilanjutkan dari dahulu semenjak para leluhur sudah merintisnya patut untuk diteruskan dalam pengertian tetap dievaluasi. Seterusnya itu berarti telah memberikan penghargaan dan penghormatan tersendiri dan tertentu adanya dan pula tidak terlepas dari upaya mandiri untuk mencari dan menemukan jalan keluar yang lebih tinggi kualitasnya.

Peristiwa yang memilukan berupa kekayaan dengan menjadikan yang lain termiskinkan sesuai dengan dalil dalam pernyataan hanya dengan mengutamakan kaumnya saja ini tentu berbahaya bagi keadaan manusia. Inilah sebenarnya biang keladi dari sumber adanya kemiskinan. Karena tidak mampu melihat saling keberkaitan satu sama lain secara inklusif.

Setiap diri manusia pasti berusaha menyesuaikan dengan keadaannya sehingga jika dalam keadaan lapar berupaya untuk makan pun jika mengantuk berusaha untuk dapat tidur. Keadaan hidup manusia mesti disejajarkan secara tidak berani untuk melakukan kesewenang-wenangan.

Disejajarkan dengan kehidupan yang berkesetaraan atau dengan dasar yang tidak membeda-bedakan. Inilah dasar untuk tidak berlaku tidak berani secara khusus dengan mengenyampingkan perbedaan sehingga kesetaraan memperoleh pengertian yang lebih seimbang. Dasar yang lebih luas adalah kemampuan untuk menimbang agar manusia mampu memberikan peluang yang normal terhadap regenerasi.

Baca juga:  Presiden Jokowi Paparkan Kekayaan Energi Hijau Indonesia dihadapan CEO AS

Dengan dasar bahwa regenerasi dilakukan secara berani untuk berkata tidak terhadap kepentingan politik yang tidak seimbang. Artinya tidak sesuai dengan porsi yang tepat waktu dan keadaannya sehingga desa kala patra menjadi tidak dihargai. Oleh karena itulah desa (wilayah) penting untuk dijadikan sebagai patokan dasar namun tidak menghilangkan kecerdasan agar mampu tetap berbudaya.

Berbudaya dalam pengertian yang luas sehingga tidak terjebak dalam lahan yang sempit. Namun, mampu untuk menempatkan lahan yang sempit itu dalam keadaan dan waktu dengan kecerdasan. Inilah para leluhur sebenarnya sudah mempertimbangkan sehingga desa kala patra sebagai bentuk dan pola yang tanpa bentuk dan pola. Artinya bahwa desa kala patra dijadikan sebagai dasar pengembangan bukan sebagai dasar hujat menghujat.

Untuk itulah diperlukan kebijaksanaan yang diartikan sebagai bentuk dan pola filsafat tertentu namun nantinya tidak terikat atas bentuk dan pola itu sehingga menjadikan suatu bentuk dan pola masyarakat yang merdeka. Namun ini tidak diartikan dalam pengertian yang bebas absolut melainkan secara filosofis menunjukkan bagaimana kekritisan dalam bermasyarakat dijadikan untuk membangun masyarakat itu menuju kualitas. Kalau kualitasnya mencapai titik yang diharapkan pasti kuantitasnya tidak ditinggalkan.

Baca juga:  Kekerasan Seksual Masuk Kampus: Salah Siapa?

Kekayaan dan kemakmuran bukan semata-mata terkait dengan harta benda akan tetapi juga tidak dapat meninggalkan harta benda asalkan benar-benar disadari sebagai penunjang hidup bukan untuk menjadikan gelap mata. Inilah yang menjadikan kebudayaan dengan budayanya perlu dicermati dengan layak.

Seterusnya dapat dijadikan sebagai kekuatan agar kekayaaan dan kemakmuran itu bukan dijebakkan dalam kekuasaan tetapi dalam kekuatan agar hidup semakin berkualitas secara spiritual dengan dasar segala kebutuhan pokok dan sebagainya dapat tidak saja terpenuhi melainkan terpenuhi atas dasar kekuatan mental dan kebenaran jiwa.

Itulah yang menjadi dasar agar kekuatan jiwa terbentuk sehingga pikiran manusia tidak terkendali oleh harta benda pun kekuasaan akan tetapi menjadikan harta benda dan kekuasaan untuk menguji kebenaran dirinya sendiri. Kekuasaan itu tidak semata-mata berpolitik melainkan kemampuan untuk mengevaluasi kebenaran dalam dirinya sendiri yang terbentuk dalam jiwa yang kuat dan kokoh untuk tidak merugikan orang lain dalam berbagai segi apapun termasuk dalam kenyataan hukum dan ekonomi dan juga budaya itu sendiri.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *