
Oleh I Kadek Darsika Aryanta
Di era di hampir semua aspek kehidupan bertransformasi ke ranah digital, dunia pendidikan Indonesia akhirnya mengambil langkah progresif: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengadopsi Ijazah Digital berbasis Nomor Ijazah Nasional. Kebijakan ini patut diapresiasi sebagai respons atas problem klasik seperti pemalsuan ijazah, kerentanan dokumen fisik, dan inefisiensi administratif. Namun, di balik optimisme kemajuan teknologi, pertanyaan kritis perlu diajukan: Sudah siapkah infrastruktur dan ekosistem pendidikan kita menyambut revolusi ini?
Selama bertahun-tahun, sistem pengelolaan ijazah di Indonesia terjebak dalam lingkaran masalah yang nyaris klise.
Pertama, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2017 tentang Ijazah dan SHUN (Sertifikat Hasil Ujian Nasional) telah kehilangan relevansi sejak UN ditiadakan sebagai syarat kelulusan. Kedua, praktik jual beli blangko sisa ijazah dan pemalsuan dokumen masih marak. Data Kepolisian RI mencatat, sepanjang 2020-2023, terdapat 112 kasus pemalsuan ijazah yang terungkap—angka yang mungkin hanya puncak gunung es.
Masalah lain adalah distribusi blangko ijazah yang kerap terlambat, terutama di daerah terpencil. Proses administrasi manual juga rentan kesalahan: dokumen rusak karena banjir atau gempa, seperti yang terjadi di Palu (2018) dan Flores (2021), menghapus bukti kelulusan ratusan siswa. Di tengah ancaman krisis iklim yang meningkatkan frekuensi bencana alam, transisi ke ijazah digital bukan sekadar pilihan—melainkan kebutuhan mendesak.
Kebijakan ijazah digital melalui Nomor Ijazah Nasional dan sistem verifikasi online menjanjikan sejumlah terobosan. Pertama, integrasi teknologi informasi (TIK) memangkas beban administratif guru dan kepala sekolah. Dengan data terpusat di platform Kemendikbudristek, proses penerbitan dan verifikasi ijazah bisa dilakukan dalam hitungan menit, tanpa antrean panjang atau risiko dokumen hilang.
Kedua, sistem verifikasi berbasis nomor unik dan fitur keamanan digital mampu meminimalisasi pemalsuan. Jika sebelumnya ijazah palsu mudah dibuat dengan meniru desain fisik, kini keaslian dokumen dapat dicek langsung melalui situs resmi. Ini akan mempersulit praktik korupsi seperti yang terjadi di Garut (2022), di mana oknum pegawai dinas pendidikan menjual blangko ijazah sisa.
Ketiga, ijazah digital menjadi jawaban atas ancaman bencana alam. Data tersimpan di cloud server, sehingga tidak lagi rentan rusak akibat banjir atau gempa. Bagi siswa di daerah rawan bencana, ini adalah jaminan bahwa bukti pendidikan mereka tetap aman. Meski menjanjikan, implementasi ijazah digital tidak boleh dilihat sebagai solusi instan. Setidaknya ada tiga tantangan krusial yang perlu diantisipasi seperti kesenjangan infrastruktur digital menurut data BPS (2023), hanya 65% sekolah di Indonesia yang memiliki akses internet memadai. Di Papua dan NTT, angka ini bahkan di bawah 40%.
Bagaimana mungkin sekolah-sekolah di pedalaman bisa mengakses sistem digital jika jaringan listrik saja belum stabil? Tanpa pemerataan infrastruktur, ijazah digital berisiko memperlebar ketimpangan antara sekolah perkotaan dan pedesaan. Selain itu, Kapasitas SDM pendidikan
Tidak semua guru atau tenaga administrasi melek teknologi. Jika pelatihan teknis tidak masif, sistem digital justru akan membebani sekolah dengan sumber daya terbatas.
Agar ijazah digital tidak sekadar wacana, diperlukan langkah holistik seperti pemerintah harus memastikan infrastruktur digital merata. Kolaborasi dengan Kominfo dan penyedia layanan internet swasta perlu diperkuat untuk menjangkau daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Sosialisasi pelatihan intensif bagi tenaga pendidik juga sangat penting. Bukan hanya cara mengakses sistem, tetapi juga literasi keamanan siber.
Ijazah digital adalah cermin dari zaman: ia menghadirkan harapan, tetapi juga menguji kesiapan kita. Jika diimplementasikan dengan hati-hati, kebijakan ini bisa menjadi milestone dalam modernisasi pendidikan Indonesia. Namun, tanpa dukungan infrastruktur, SDM, dan regulasi yang solid, kita hanya akan mengganti masalah lama dengan masalah baru.
Penulis, Fasilitator Sekolah Penggerak kemendikbud, Guru Fisika SMAN Bali Negara, Dosen Praktisi Mengajar PGSD Undiksha