Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh  I Gusti Ketut Widana

Seperti wajib hukumnya, menjelang  ritual Pangrupukan serangkaian hari suci Nyepi, suasana bergairah terpancar dan bersinar di sebagian  banjar-banjar seantero jagat Bali. Pasalnya, para kelompok sekaa teruna/yowana lagi berbinar melakukan aktivitas gebyar nan akbar, ditopang semangat berkobar-kobar mengekspresikan kreativitas seninya mengkonstruksi karya Ogoh-ogoh, yang tentunya berbiaya besar.

Ini fenomena menguatnya pengaruh ideologi pasar berbasis “seni-mind”, memainkan pikiran (imajinasi) lalu melahirkan karya seni sesuai tuntutan segmen. Termasuk untuk tujuan konpetisi (lomba) atau sekadar ajang kontestasi yang berpeluang mereduksi tuntunan teologis, filosofis, mitologis dan etis demi eksis berbaur narsis yang tak lepas dari unsur pipis.

Perihal ini tampak kental pada hasil karya seni Ogoh-ogoh kekinian yang berkecenderungan berkembang kearah kreativitas tanpa batas, melampaui entitas dan identitas dengan mendegradasi sumber-sumber tekstual/konseptual demi mengikuti arus habitual yang terlanjur dicengkram kepentingan pemberi modal atau penyumbang finansial. Munculah apa yang namanya kapitalisasi Ogoh-ogoh di tataran materi, dengan konsekuensi mengaburkan nuansa religi dari setiap aktivitas seni (budaya) Bali yang sejatinya bersumber dari nilai-nilai suci ajaran Hindu.

Baca juga:  Kekuatan Demokrasi yang Tidak Kuat

Konkritisasi model “seni-mind” dimaksud tergambar dari  kreativitas seni kontemporer yang lebih disemangati gairah kompetisi/kontestasi, hingga menyertakan komponen teknologi (tidak alami) dalam karya seni ogoh-ogoh. Memang tidak salah, atau boleh saja dikatakan sah, setidaknya lumrah. Tetapi ketika  tampilan ogoh-ogoh dimaksud dikaitkan dan seolah menjadi bagian substansi ritual Nyepi, terlebih beraroma unjuk gengsi dan sensasi, apalagi menarget viral di dunia sosiality (medsos), jelas perlu diluruskan.

Fenomena demikian tak lebih hanya sebagai hasrat memantik adrenalin, menggelorakan eofu/fun ritual dalam kemasan happy religion. Sama saja dengan membuka ruang bebas membangkitkan aura bhuta-kala (ramya). Padahal saat arak-arakan ogoh-ogoh di malam Pangrupukan, secara simbolik keberadaan para bhuta-kala sudah di-somya lewat upacara Tawur Kasanga, sebelum tengah hari (tengai tepet). Sehingga secara filosofi kondisi bhuwana (agung-alit) sebenarnya sudah dalam keadaan sunya  (harmoni :enteg, degdeg).

Baca juga:  Pemilu, Pilihan Pelangi dan Partai "Konglomerat"

Logika-etikanya bukan lagi menghadirkan sosok raksasa dengan rambut gondrong tak beraturan, mata mendelik, mulut lebar menganga dengan gigi dan caling/taring tajam, kuku panjang siap menerkam (representasi bhuta-kala), melainkan tampilan figur dewa/dewata, berwajah rupawan dengan senyum manis, tubuh proporsional memancarkan aura kasih, kelembutan dan kedamaian. Namun, karena sudah terlanjur menjadi trend kontemporer, kehadiran ogoh-ogoh sebagai personifikasi raksasa seakan mutlak tanpa bisa dihalangi, atau sekadar diingatkan agar kembali ke konsep dasarnya.

Terlebih, proses penciptaan karya  seni ogoh-ogoh itu mendapat dukungan dana fantastis, dan diarahkan untuk tujuan kompetisi (lomba). Seperti Pemkab Badung, tak tanggung-tanggung mencairkan dana kreativitas ogoh-ogoh 2025 sebesar Rp14,5 miliar diberikan kepada 582 seke teruna/yowana (detikcom, 3 Februari 2025).

Belum lagi di tingkat desa adat (ada 1.500) plus ribuan banjar adat  dengan sekaa teruna/yowananya yang juga membuat ogoh-ogoh dengan biaya masing-masing hingga hitungan puluhan juta rupiah. Bila diakumulasi dan dikalkulasi, besaran dana pembuatan ogoh-ogoh se-Bali diprediksi bisa mencapai  angka berpuluh-puluh miliar. Sayangnya usai di arak langsung lenyap (pralina) dalam sekejap, bahkan mungkin tanpa hikmah bermanfaat dipetik, kecuali menyisakan ceceran dan tumpukan sampah di sana-sini.

Baca juga:  Desa Adat Buleleng Gelar Pangerupukan Festival 2025

Sementara untuk pembinaan generasi muda (teruna/yowana) yang sebenarnya sangat urgent bagi penguatan karakter Suputra anak Bali, terutama dari tingkat bawah (banjar/desa adat), nyaris tak mendapat porsi secara proporsional. Lantaran tiada kompetisi/kontestasi, gengsi dan sensasi untuk hal itu.

Menjadi semakin jauhlah, bahkan boleh dikatakan keluar dari simbol dan makna ogoh-ogoh bila dikaitkan dengan ritual Pangrupukan dan Nyepi. Kecuali jika fenomena ogoh-ogoh kekinian ini menjadi motivasi bagi para teruna/yowana, tidak hanya sebatas sebagai kreativitas seni semata, tetapi dapat menginspirasi “nyomyang raga” (meredam sifat kabhutan : kegelapan hati/nurani) lalu meningkat ke tahapan “nyunyang jiwa” hingga mencapai kesadaran sang atma. Pertanyaannnya, sudahkan mengarah ke sana?

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *