Ni Komang Hevi Prima Dewi. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Komang Hevi Prima Dewi

Bali yang dikenal dengan kekayaan budaya dan keindahan alamnya, kini menghadapi tantangan besar terkait perubahan demografi, khususnya dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia) seiring dengan naiknya angka harapan hidup.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Provinsi Bali tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sekitar 12,88 persen penduduk Bali berusia 60 tahun ke atas, dan angka ini diproyeksikan akan meningkat signifikan menjadi 19,74 persen pada tahun 2035. Peningkatan jumlah lansia ini menandakan bahwa Bali telah memasuki fase ageing population, di mana proporsi penduduk lanjut usia telah lebih dari sepuluh persen dan terus mengalami peningkatan.

Meskipun fenomena ini berpotensi menjadi bagian dari bonus demografi kedua, di mana lansia yang masih produktif dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian, hal ini juga memunculkan pertanyaan mendalam mengenai kualitas hidup mereka. Walaupun indikator keberhasilan dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial menunjukkan perkembangan positif, kita perlu bertanya, apakah populasi lansia ini benar-benar hidup dalam kondisi yang layak dan sejahtera?

Secara budaya, lansia di Bali umumnya masih tinggal bersama keluarga besar mereka. Sistem Nyama Braya—konsep kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Bali menjadi penopang utama kehidupan para lansia. Namun, modernisasi dan perubahan sosial perlahan mengikis sistem ini. Banyak anak muda Bali yang merantau atau bekerja di sektor pariwisata, sehingga mereka tidak selalu bisa merawat orang tua mereka dengan maksimal.

Baca juga:  Meneguhkan Ekonomi Kebudayaan Bali

Selain itu, urbanisasi dan perubahan gaya hidup menyebabkan semakin banyak lansia yang hidup sendiri atau bergantung pada komunitas lokal untuk mendapatkan perhatian dan bantuan, terutama di daerah perdesaan. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2024, tercatat sebanyak 45,21 persen lansia tinggal bersama tiga generasi, sementara sekitar 4,05 persen lansia tinggal sendiri.

Dari sisi ekonomi, tidak semua lansia memiliki jaminan pensiun. Hasil Survei Susenas Maret 2024 mencatat hanya 13,88 persen lansia yang memiliki jaminan pensiun. Banyak di antara mereka yang masih harus bekerja, terutama di sektor informal seperti bertani, berdagang di pasar tradisional, atau menjadi buruh bangunan.

Meskipun Bali memiliki budaya yang kuat dalam menjaga lansia, kenyataan yang dihadapi mereka tidak selalu seindah yang diharapkan. Masalah kesehatan menjadi tantangan utama. Hasil pendataan Susenas Maret 2024 mencatat angka kesakitan lansia di Provinsi Bali sebesar 20,01 persen, yang berarti satu dari lima lansia mengalami keluhan kesehatan yang mengganggu aktivitas mereka dalam sebulan terakhir.

Baca juga:  Di Denpasar, 91 Persen Warga Sudah Lakukan Perekaman E-KTP

Penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, dan gangguan jantung semakin banyak ditemukan di kalangan lansia. Sayangnya, akses terhadap layanan kesehatan masih terbatas, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau pegunungan.

Di sisi lain, banyak lansia di Bali masih mengandalkan pengobatan tradisional, seperti usada, dibandingkan dengan perawatan medis modern. Meskipun beberapa metode tradisional terbukti bermanfaat, kurangnya pengetahuan tentang penyakit kronis dan keterlambatan dalam mencari pengobatan dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Kesadaran akan pentingnya pencegahan juga masih rendah. Menghadapi tantangan yang dihadapi lansia di Bali, sudah saatnya pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa para lansia tidak hanya hidup lebih lama, tetapi juga lebih sejahtera.

Pertama, penguatan posyandu lansia bisa menjadi solusi efektif dalam meningkatkan kualitas hidup lansia di Bali. Kedua, peningkatan akses layanan kesehatan yang ramah lansia harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah perlu menyiapkan lebih banyak klinik geriatrik di rumah sakit dan puskesmas, serta mengembangkan program jemput bola seperti layanan kesehatan keliling untuk menjangkau lansia di daerah pedesaan atau terpencil. Ketiga, mendorong lansia untuk tetap aktif secara sosial dan ekonomi. Lansia yang masih sehat dan produktif seharusnya diberikan kesempatan untuk tetap berkontribusi dalam masyarakat.

Baca juga:  Wisman Entitas Utama Pariwisata Bali

Keempat, pendidikan kesehatan untuk keluarga juga sangat penting. Keluarga masih menjadi sistem pendukung utama bagi lansia di Bali, sehingga edukasi tentang bagaimana merawat lansia dengan baik perlu ditingkatkan. Workshop atau pelatihan bagi keluarga mengenai perawatan lansia, nutrisi yang tepat, dan pentingnya kesejahteraan mental dapat membantu meningkatkan kualitas hidup lansia di lingkungan keluarga.

Kelima, pengembangan Indeks Kesejahteraan Lansia di Bali bisa menjadi langkah strategis dalam mengukur kualitas hidup lansia secara lebih komprehensif. Indeks ini bisa mencakup aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial, sehingga kebijakan yang dibuat lebih tepat sasaran.

Populasi lansia di Bali terus meningkat, dan tantangan yang mereka hadapi semakin kompleks. Jika kita tidak mengambil langkah konkret sekarang, generasi lansia di masa depan akan menghadapi masalah yang lebih besar.

Pemerintah, masyarakat, dan keluarga memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan ini. Mari bersama-sama membangun Bali yang lebih peduli terhadap lansia, karena mereka yang telah membangun fondasi bagi generasi kita, dan kini saatnya kita memastikan mereka mendapatkan kehidupan yang layak di usia senja.

Penulis, Statistisi Ahli Muda di BPS Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *