
Oleh Djoko Subinarto
Korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kerap dipandang sebagai kejahatan yang hanya merugikan secara finansial. Padahal, tidak demikian. Secara sosial, korupsi memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar kerugian finansial. Korupsi merusak struktur sosial, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidaksetaraan yang parah.
Di level masyarakat, korupsi menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi negara dan sistem hukum. Padahal, kepercayaan adalah kunci dalam setiap interaksi sosial, baik di tingkat mikro (keluarga, komunitas) maupun makro (negara). Ketika praktik korupsi merajalela, masyarakat kehilangan rasa percaya satu sama lain dan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya mampu melindungi mereka. Buntutnya boleh jadi rakyat menjadi apatis.
Di sisi lain, korupsi menyebabkan pula distribusi kekayaan yang tidak adil. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ketidaksetaraan yang semakin tajam akibat korupsi menciptakan jurang yang lebar antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ketika segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya, sementara sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan, frustasi dan rasa ketidakadilan semakin meluas. Polarisasi seperti itu bukan hanya memecah masyarakat secara sosial, tetapi juga mengancam stabilitas politik.
Dalam ranah politik, korupsi menggerogoti integritas pemerintahan. Pemimpin yang terlibat dalam praktik korupsi kehilangan legitimasi moral untuk memimpin dan membawa perubahan. Dalam dimensi filosofis, korupsi dapat dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap nilai-nilai moral dan etika. Secara etis, praktik korupsi merusak prinsip dasar terkait keadilan dan kejujuran. Filsuf Yunani kuna, Plato, dalam karya agungnya, Republik, mendeskripsikan negara yang adil sebagai negara yang tidak dikuasai oleh kepentingan pribadi atau kekayaan, melainkan didasarkan pada kebajikan dan kebenaran.
Dalam konteks ini, korupsi bukan hanya tindakan yang merugikan individu maupun negara, tetapi suatu pengkhianatan terhadap moralitas kolektif yang seharusnya membimbing kehidupan bersama.
Sebagai seorang filsuf yang mendalami konsep negara ideal, Plato menekankan pentingnya kebajikan, baik pada individu maupun pada struktur negara itu sendiri. Maka, korupsi, dalam konteks ini, menjadi ancaman yang sangat besar terhadap kestabilan dan keadilan suatu negara.
Ketika pemimpin atau pejabat publik terperosok dalam praktik korupsi, mereka tidak hanya mengkhianati kepercayaan rakyat, tetapi juga mencederai moralitas yang seharusnya menjadi pondasi negara. Dalam Timaeus, Plato menyebut bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian utama yakni rasio, kehendak, dan nafsu. Rasio, yang dianggap sebagai bagian tertinggi, bertanggung jawab untuk memandu tindakan manusia berdasarkan kebijaksanaan dan pengetahuan akan kebenaran.
Ketidakharmonisan dalam jiwa terjadi ketika nafsu dan keinginan pribadi mengalahkan rasio dan kebajikan. Ketika individu memilih untuk melakukan korupsi, rasio – yang seharusnya mengarahkan perilaku moral – terabaikan hingga nilai-nilai dasar seperti kejujuran, integritas, dan keadilan terkorbankan. Dengan demikian, dalam kacamata Plato, korupsi lebih dari sekadar tindakan yang merusak keuangan atau struktur politik, melainkan suatu penyakit moral yang merusak jiwa individu dan masyarakat.
Pendidikan karakter dan etika harus ditanamkan sejak dini agar generasi mendatang memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang bahaya dan dampak korupsi. Pendidikan anti-korupsi harus menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah kita guna membentuk generasi yang lebih sadar akan bahaya dan dampak negatif korupsi, baik di tingkat individu, keluarga, hingga negara.
Di saat yang sama, masyarakat perlu diajak untuk lebih berani melaporkan praktik-praktik korupsi dan aktif pula berperan dalam mendorong transparansi, akuntabilitas serta tidak membenarkan tindakan korupsi, sekecil apa pun, dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Di sisi lain, pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang nyata dan sungguh-sungguh terhadap pemberantasan korupsi dengan menciptakan lembaga-lembaga yang independen dan transparan.
Tentu saja, semua ini membutuhkan komitmen kuat dan keberanian dari semua pihak untuk bekerja bersama-sama demi masa depan kita yang lebih baik, di mana setiap individu di negeri ini dapat menikmati hak-haknya tanpa adanya penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan sedikit pun oleh mereka yang diberi mandat kekuasaan.
Penulis, Kolumnis dan Bloger, Alumnus Universitas Padjadjaran