
Oleh Agung Kresna
Terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 yang terbit pada 22 Januari 2025, telah mengusik banyak pihak terkait karena belum siap menghadapi keketatan anggaran yang ada.
Padahal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, efisiensi anggaran ini akan menjadi budaya baru dalam penggunaan anggaran di lembaga negara Pusat maupun Daerah. Lambatnya komunikasi pihak Pemerintah Pusat dalam memberikan penjelasan dan transparansi yang detail tentang rincian bentuk efisiensi kepada para stakeholder, juga menuai resistensi tersendiri.
Hingga mahasiswa melakukan unjuk rasa dalam rangka penolakan rencana efisiensi anggaran tersebut, karena diperkirakan akan berdampak pada naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Mahasiswa merasa keberatan jika efisensi anggaran akan berujung pada naiknya UKT mahasiswa, demi kelancaran operasional Perguruan Tinggi.
Selama ini memang ditengarai bahwa kebanyakan kampus Perguruan Tinggi di Indonesia masih menggantungkan diri pada pemasukan dana dari mahasiswa –utamanya UKT- untuk biaya operasional Perguruan Tinggi. Selain tentu juga adanya dukungan dana dari pemerintah melalui berbagai anggaran dari Pusat maupun Daerah.
Banyak kampus di Indonesia yang memiliki asset besar, karena ada dukungan pemerintah serta sumber eksternal yang besar lainnya. Kampus memiliki lahan luas, fasilitas modern, disertai adanya jaringan alumni dan mitra potensial. Sudah seharusnya semua asset tersebut menjadi modal besar untuk menghasilkan pendapatan mandiri bagi kampus.
Namun realitasnya kampus belum mampu memanfaatkan aset yang dimiliknya secara maksimal. Apalagi Perguruan Tinggi juga memiliki sumber daya manusia (SDM) unggul berkualitas tinggi. Birokrasi yang lamban di kampus telah menghambat kreativitas dalam menghasilkan laba. Selain kurang adanya rasa kompetisi dan takut akan risiko bisnis.
Kampus di banyak negara maju menerapkan model business-oriented campus, dengan tetap menjaga marwah akademisnya. Tidak hanya fokus pada pendidikan semata, namun juga menghasilkan profit dari kolaborasi dengan dunia industri, paten riset, serta optimalisasi pengelolaan asset properti kampus.
Data menunjukkan, laporan keuangan 2024 Harvard University, Amerika Serikat, menyajikan pendapatan sekitar 37 persen dari endowment income, 16 persen dari sponsor, dan hanya sekitar 21 persen dari education revenue. Sisanya baru mendapat dukungan dana dari berbagai pihak yang lain.
Sementara dalam laporan keuangan tahun 2023 Yale University, tercatat bahwa education revenue hanya sekitar 9 persen, termasuk di dalamnya uang kuliah (tuition fee) dan pendapatan sewa ruangan. Endowment fund mereka tercatat 30,7 persen.
Secara keseluruhan total pendapatan eksternal di luar tuition fee, sebesar lebih dari 91 persen. Laporan keuangan 2023/2024 Oxford University, Inggris, tercatat bahwa tuition fee dan kontrak pendidikan hanya sekitar 9,3 persen. Pendapatan dari hibah riset sebesar 13,2 persen. Sisanya pendapatan lain dan dari donasi. Sedang data National University of Singapore dan Nanyang Technological University mencatat tuition fee sebesar 40-50 persen pendapatan.
Bagaimana dengan pendapatan kampus Perguruan Tinggi di Indonesia? Pembentukan PTN-BH telah memacu kampus untuk memiliki critical thinking dan sense of belonging, sehingga kreativitas tetap terasah. Universitas Gadjah Mada sebagai PTN-BH berhasil memiliki pendapatan non-tuition fee sekitar 50 persen.
Sudah saatnya kampus Perguruan Tinggi di Indonesia mulai menciptakan model penghasilan kampus yang inovatif. Tidak hanya menggantungkan diri pada pemasukan dari UKT mahasiswa. Mulailah kolaborasi riset dengan dunia industri, disertai integrasi riset sesuai kebutuhan pasar; dengan model pendekatan berbasis solusi, teknologi, dan ekonomi.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar