
Oleh Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.FiL.H
Tradisi Ogoh-ogoh merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan Nyepi di Bali. Kata “Ogoh-ogoh” berasal dari bahasa Bali, yaitu “ogah-ogah”, yang berarti digoyangkan atau digerakkan. Sesuai namanya, patung raksasa ini diarak keliling desa saat Pangerupukan, sehari sebelum Nyepi.
Meskipun bentuk modern ogoh-ogoh berkembang luas sejak 1980-an, konsep arak-arakan patung raksasa yang melambangkan Bhuta Kala (kekuatan negatif) telah ada sejak zaman dahulu.
Tradisi ini semakin populer sejak tahun 1983, pertama kali dipentaskan di Desa Kesiman, Denpasar, kemudian diperkenalkan secara luas pada Pesta Kesenian Bali XII tahun 1990.
Sejak itu, ogoh-ogoh menjadi bagian Tawur Kesanga, upacara penyucian alam menjelang Nyepi, yang kemudian berkembang sebagai ekspresi seni dan ajang kompetisi.
Untuk mempertahankan serta melestarikan seni budaya ini, berbagai pihak seperti pemerintah, desa adat, yowana (pemuda), dan instansi terkait sering mengadakan perlombaan ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh dinilai berdasarkan empat aspek utama. Pertama, ideoplastis (konsep dan ide).
Aspek ini menilai makna filosofis dan tematik dari ogoh-ogoh yang dibuat. Kedua, psikoplastis (bentuk dan struktur fisik). Kriteria ini menilai bagaimana konsep dan ide diwujudkan dalam bentuk visual ogoh-ogoh.
Ketiga, kreativitas (orisinalitas, inovasi, dan ornamen pendukung). Aspek ini menilai sejauh mana ogoh-ogoh menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda. Keempat, seni rupa pertunjukan ogoh-ogoh. Selain sebagai karya seni rupa, ogoh-ogoh juga harus mampu berfungsi sebagai elemen pertunjukan yang dinamis.
Jika ditinjau dari perspektif tradisi asli, sebelum ogoh-ogoh populer, masyarakat Bali sudah menjalankan maubu-ubu sebagai ritual pembersihan sebelum Catur Brata Panyepian. Pangerupukan, yang bertujuan menetralisir Bhuta Kala, tetap dapat dilakukan tanpa ogoh-ogoh, cukup dengan memukul kentongan atau menghamburkan api (obor).
Dengan hadirnya ogoh-ogoh, budaya Bali semakin kaya dengan ekspresi seni yang menarik. Meskipun bukan bagian dari ritual utama, ogoh-ogoh menjadi simbol kreativitas masyarakat dalam memahami konsep Bhuta Kala, sekaligus sebagai media edukasi budaya bagi generasi muda.
Seiring perkembangan zaman, ogoh-ogoh menghadapi berbagai tantangan. Sejak tahun 2005, ada anggapan ogoh-ogoh sering menjadi kambing hitam munculnya konflik, terutama saat pemilu atau peristiwa lain. Beberapa pihak juga mengkritik waktu pementasan yang terkadang tidak saat Pangerupukan serta dampak lalu lintas yang ditimbulkan arak-arakan ogoh-ogoh. Namun, perlu diingat bahwa kemacetan di Bali bukan hanya karena ogoh-ogoh, tetapi juga faktor lain seperti jumlah kendaraan dan kondisi jalan.
Meski menghadapi berbagai tantangan, ogoh-ogoh tetap memiliki nilai sosial yang besar. Tradisi ini dapat mempersatukan generasi muda, memperkuat hubungan sosial antarwarga, dan menjadi ajang kompetisi seni yang positif. Seni adalah ekspresi kebahagiaan, dan melalui ogoh-ogoh, masyarakat Bali dapat mengekspresikan rasa bakti kepada Sang Pencipta.
Penulis, dosen UNHI dan Ketua Yayasan Gases Bali