
MANGUPURA, BALIPOST.com – Sebagai bentuk pelestarian budaya sekaligus upaya membangun solidaritas pemuda, Sekaa Teruna (ST) Eka Citta Laksana Banjar Samu, Mekar Bhuwana, Badung, menciptakan Tari Rejang Penyamleh.
Tarian ini terinspirasi dari tarian tradisional Penyamleh Ayam, yang kemudian dikembangkan dengan konsep lebih dinamis namun tetap berpegang pada pakem tarian sebelumnya. I Made Widi Artha, S.Sn, M.Sn dan Ni Made Pande Suari, S.Pd, M.Pd menjadi sosok di balik penciptaan tarian ini.
Iringan tabuhnya disusun oleh I Wayan Suardiana Putra, S.Si, I Putu Gede Agus Subagia, dan I Made Aditya.
Proses penciptaan tarian ini berlangsung sekitar dua bulan, mencakup tahap ritual nuasen, penyusunan gerak tari, hingga penciptaan tabuh pengiring.
Menurut I Made Widi Artha, tarian ini lahir dari dua alasan utama. Pertama, untuk mempererat solidaritas anggota ST. Eka Citta Laksana, bukan hanya dalam acara hiburan tetapi juga dalam kegiatan keagamaan seperti upacara Dewa Yadnya.
Ia juga mengatakan hal ini meningkatkan daya tarik generasi muda dalam ngayah di pura, terutama bagi mereka yang masih merasa ragu atau malu untuk ikut serta. Dengan kemasan yang sederhana, diharapkan tarian ini dapat menjadi jembatan bagi para pemuda agar lebih aktif dalam kegiatan adat dan keagamaan.
“Lewat tarian ini, diharapkan generasi muda yang sebelumnya malu-malu, mau ikut serta ngayah secara bersama-sama,” jelasnya, kamis (27/3).
Jumlah penari dalam Tari Rejang Penyamleh bersifat fleksibel. Namun, formasi utamanya terdiri dari tiga orang, yakni satu penari pembawa keris, dua penari pembawa ayam, serta penari tambahan yang membawa pasepan sesuai dengan jumlah anggota yang berminat.
Tari Rejang Penyamleh pertama kali ditampilkan menjelang Tilem Kesanga, tepatnya pada 27 Maret 2025 setelah prosesi melasti di Pura Desa lan Puseh. Pementasan perdana ini mendapat respons positif dari masyarakat karena dinilai dapat menghidupkan kembali semangat ngayah di kalangan generasi muda.
Sementara itu, pencipta tabuh I Wayan Suardiana Putra, atau yang akrab disapa Nano, menyampaikan penyusunan tabuh membutuhkan waktu sekitar satu bulan. “Tantangan terbesar dalam proses ini adalah keterbatasan waktu latihan akibat kesibukan para anggota, ditambah dengan jadwal latihan yang berlangsung hingga dini hari, yaitu pukul 11 malam hingga 3 pagi,” ungkapnya.
Keberhasilan tarian ini tidak terlepas dari dukungan penuh prejuru Desa Adat Samu, yang berperan dalam memfasilitasi serta memberikan motivasi kepada anggota STT selama proses penciptaan.
Sebagai organisasi kepemudaan di Banjar Samu Mekar Bhuwana, ST. Eka Citta Laksana memiliki sejarah panjang sejak 28 Oktober 1990, hingga di usia 34 tahun, organisasi ini tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya di banjar, termasuk dalam pelestarian kesenian daerah. (kmb/balipost)