
NEGARA, BALIPOST.com – Tanaman Kakao menjadi komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Jembrana saat ini mengalahkan cengkeh, pisang dan kopi. Komoditi ini juga memiliki potensi ekspor yang sangat tinggi dengan permintaan 300 ton per tahun, petani baru bisa menyuplai separuhnya (150 ton). Pengembangan sektor hulu dan hilir tengah dilakukan untuk menggenjot produksi sejak beberapa tahun ini salah satunya melalui peremajaan tanaman yang sudah tua.
Melalui bantuan pusat, provinsi dan kabupaten, dari total 6.341 hektar lahan yang eksisting saat ini masih kurang 900 hektar yang belum diremajakan.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana, I Komang Ariada mengatakan upaya pemerintah mendorong produksi kakao fermentasi dilakukan dari hulu ke hilir. Dari hulu, dengan peremajaan tanaman kakao petani yang dilakukan setiap tahun.
“Sejauh ini sudah 2.700 hektar yang diremajakan dengan bibit unggul. Kita masih ada -PR- sekitar 900 hektar atau sekitar 9 juta bibit kakao,” ujar Ariada.
Sedangkan di hilir, pemerintah mendorong petani untuk menghasilkan kakao yang berkualitas melalui fermentasi. Dari 148 subak abian, baru sekitar 36 subak yang telah memiliki prasarana pengolahan kakao fermentasi. Ditargetkan melalui sistem pengolahan fermentasi, bisa berkembang hingga 80 subak.
“Secara bertahap, untuk memenuhi kualitas kakao fermentasi untuk ekspor. Memang saat ini harga sedang tinggi, kami harap petani tetap menjaga kualitas,” terang Ariada, Minggu (6/4) kemarin.
Sejak setahun terakhir, harga kakao sangat menjanjikan. Dari semula berkisar 45 ribu per kilogram, kini melonjak mencapai RP 140-150 ribu per kilogram. Sedangkan yang fermentasi bisa mencapai Rp 180-200 ribu per kilogram. Hal ini dipicu karena kondisi pasar global yang tidak seimbang antara permintaan dan ketersediaan.
Agung Widiastuti, praktisi kakao Indonesia yang sejak 13 tahun terakhir mendampingi para petani kakao di Jembrana mengatakan ada beberapa faktor penyebab meroketnya harga kakao saat ini. Pertama, ketidakseimbangan supply dan demand di tingkat global. Kebutuhan pasar kakao cukup tinggi, namun produksi menurun. Terutama di sejumlah negara produsen kakao tertinggi seperti di Ghana dan Pantai Gading dampak climate change (perubahan iklim). Ditambah kelangkaan pupuk dan terjadi serangan virus juga di negara produksi pertama (Ghana) itu.
“Ini dipengaruhi faktor global, ditambah penurunan produksi panen di Indonesia karena dampak el nino tahun lalu,” terangnya belum lama ini. Kakao yang menjadi komoditi ekspor, juga sangat terdampak nilai tukar dollar dengan rupiah saat ini sehingga terdongkrak harga jual.
Agung Widiastuti mengharapkan kepada para petani kakao premium atau fermentasi di Jembrana agar tidak terlena. Dengan harga yang sangat tinggi tersebut menjadi tantangan dan jangan pernah lelah memproduksi biji kakao fermentasi. Diperlukan menjaga komitmen pasar untuk biji kakao fermentasi (premium). Sehingga buyer global yang sejak awal membeli kakao premium petani Jembrana, tetap konsisten secara berkelanjutan. (Surya Dharma/Balipost)