
Oleh I Wayan Suartana
Dua hari raya besar telah usai yakni Nyepi dan Idul Fitri. Tradisi mudik menghiasi mozaik budaya kita. Kini giliran arus balik menuju Bali sudah dimulai. Bali masih menarik untuk mengais rezeki. Ada gula ada semut. Kenapa menarik?
Ini didasarkan oleh hukum permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan calon tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang diperlukan oleh pengusaha untuk memenuhi kapasitas produksinya. Kondisi ini menggiurkan ditambah insentif merasa nyaman tinggal di Bali dan pulau ini mudah diakses.
Dari sisi penawaran banyak bisnis di Bali yang mengandalkan tenaga kerja dari luar Bali untuk mengisi posisi tertentu, sehingga lowongan selalu tersedia selama ekonomi pariwisata menggeliat. Sektor informal banyak menampung kualifikasi ini.
Sementara ada indikasi tenaga kerja lokal Bali malah tertarik bekerja ke luar negeri. Alasan utama seputar kompensasi yang diterima. Ini semacam anomali pasar tenaga kerja sebuah pola yang kelihatannya konsisten dari tahun ke tahun. Bila anomali berlangsung massif dan sistemik maka tenaga kerja lokal Bali menjadi langka.
Bertemunya permintaan dan penawaran membawa konsekuensi pada daya tampung Bali. Persoalan-persoalan sosial menyeruak seiring dengan bertambahnya penduduk pendatang yang tak terkendali. Dalam konteks ini tenaga kerja lokal tersaingi apalagi tak punya keterampilan dan tak mau bekerja di sektor-sektor tertentu. Pasar tenaga kerja yang sempurna dimana antar pihak tak ada yang dirugikan hanya utopia belaka, malah cenderung mengalami apa yang disebut “kegagalan pasar”.
Apa yang bisa dilakukan ketika ada semacam kegagalan pasar. Pertama, pemerintah daerah harus menegakkan peraturan yang sudah ada dan jangan menerbitkan aturan baru tumpang tindih yang tak bisa dieksekusi. Peraturan jangan menjadi “macan kertas” yang hanya bisa “menari” pada tataran kajian akademis saja.
Diperlukan peraturan yang edukatif, humanis dan inklusif seiring dinamika perubahan. Pada sisi lain muatan sangsi bukan untuk pelengkap sebuah aturan tetapi menjadi wahana korektif untuk mencegah krisis sosial. Kedua, Bali mempunyai kekuatan institusi adat yang kokoh.
Hendaknya pemimpin-pemimpin di level ini memiliki kemauan untuk menjaga eksistensi dimulai dari desa adatnya sendiri. Eksistensi adat bukan lagu melankolis tetapi institusionalisasi kehidupan yang kreatif.
Aspek pawongan yang selalu didengungkan ketika berbicara Tri Hita Karana menjelma menjadi sebuah strategi untuk meningkatkan kemampuan angkatan kerja mengisi peluang yang ada. Menjadi tuan rumah di daerah sendiri tentu bukan slogan semata. Angkatan kerja bisa bersaing dengan siapapun termasuk tenaga kerja asing yang disinyalir memenuhi halaman depan bursa kerja di Bali.
Institusi pendidikan juga harus menyelaraskan antara profil lulusan dan profil pekerjaan sehingga apa yang dibutuhkan pasar sedini mungkin ditangkap sebagai masukan. Pemikiran ini tidak menjurus kepada pragmatisme pendidikan tetapi membumikan cita rasa adaptif.
Penulis, guru besar dan Koprodi S-3 Akuntansi FEB Unud