
Oleh Ketut Chandra Adinata Kusuma
Pesatnya perkembangan informasi dan teknologi di berbagai sektor, tentu memiliki dampak yang positif maupun negatif bagi manusia. Akses informasi yang cepat, mudah, dan luas bagi setiap orang merupakan dampak baik yang didapatkan dari adanya teknologi saat ini. Ibaratnya, teknologi menjadikan dunia dalam genggaman dan beribu jendela dapat dibuka hanya dengan sentuhan jari pada gadget.
Teknologi juga membantu meringankan tugas yang dilakukan manusia dalam berbagai hal. Namun, dengan segala kemudahan yang ada, tingkat aksesibilitas yang tinggi, serta jangkauan yang tidak terhingga, ternyata teknologi berpotensi menimbulkan degradasi sosial-moral, dan juga degradasi kebugaran hingga kesehatan bagi usernya. Jangka panjang yang ditimbulkan mulai dari menurunnya kuantitas dan kualitas gerak per hari setiap individu, lalu menjadi malas gerak (mager), mager menjadi pencetus obesitas, dan obesitas adalah “pintu masuknya” berbagai penyakit degeneratif ataupun metabolic syndrome.
Kualitas istirahat berkurang, hingga pada menjadi individu yang individualis dan tertutup. Sehingga, tantangan manusia saat ini adalah bagaimana menyikapi perkembangan teknologi ini secara bijak, agar esensi manusia sebagai mahluk homo socius, mahluk religius, dan senantiasa aktif bergerak tetap terjaga di tengah disrupsi era 5.0 ini. Generasi Z (kelahiran tahun 1997 – 2012) dan Generasi Alpha (kelahiran tahun 2011 – sekarang) menjadi generasi yang rentan terhadap situasi ini, sebab mereka tumbuh di era digital sehingga sangat “fasih” dan “bersahabat” dengan digital media sebagai produk dari kemajuan teknologi.
Guna menghambat laju peningkatan dampak negatif dari internalisasi teknologi pada kehidupan generasi tersebut, maka dibutuhkan langkah strategis dan solutif bagi mereka. Mengisolasi teknologi merupakan langkah yang mustahil dilakukan, namun mengurangi tingkat candu terhadap penggunaan teknologi merupakan langkah yang tepat ditempuh oleh seluruh stakeholder dalam rangka membentuk generasi Z dan Alpha di Indonesia guna menjadi insan yang sehat secara fisiologis, psikologis, sosial, maupun religius. Langkahnya dengan menstimuli mereka untuk beraktivitas di luar ruangan (outdoor activities) dalam bentuk aktivitas fisik (permainan/game).
Permainan dimaksud adalah permainan tradisional yang familiar dilakukan oleh generasi X (kelahiran tahun 1965-1980) maupun generasi Y (kelahiran tahun 1981-1996). Secara scientific permainan tradisional ini berdampak signifikan pada peningkatan kebugaran jasmani (Fauzi dkk., 2023), motorik kasar anak usia dini mampu berkembang (Juliyanti dkk., 2023), karakter berhasil dibentuk (Suadnyana, 2023), bahkan meningkatkan motivasi untuk belajar siswa di kelas (Nugraha dan Manggalastawa, 2021). Dengan demikian, permainan tradisional mampu menghantarkan pemainnya untuk bergerak aktif dan saling berinteraksi, yang berimplikasi pada pembudayaan hidup aktif dan sehat.
Langkah tepat dilakukan pemerintah yang mewajibkan materi permainan tradisional dimasukan dalam kurikulum melalui mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK) di seluruh satuan pendidikan dasar dengan alokasi waktu 4 jp dalam 1 pertemuan. Pengenalan terhadap permainan tradisional dan diharapkan menjadi pembudayaan bagi setiap siswa adalah salah satu tujuan dari PJOK. Namun, dengan hanya 1 kali pertemuan saja, perlu penguatan guna memastikan para generasi ini semakin menggandrungi permainan tradisional. Guru PJOK dapat menjadikan beberapa permainan tradisional ini dilakukan sebagai metode dalam warming up selama pembelajaran PJOK. Sehingga pembelajaran tetap menyenangkan dan meningkatkan motivasi belajar bagi seluruh siswa.
Selain itu, di halaman sekolah minimal terdapat satu lapangan yang dapat digunakan untuk siswa bermain misalnya lapangan permainan magala-gala atau dengkleng atau yang sejenisnya. Pada saat jeda semester, sekolah diharapkan merancang perlombaan atau dalam bentuk festival sederhana tentang permainan tradisional yang melibatkan seluruh siswa di seluruh tingkat/kelas.
Kegiatan kompetitif lainnya yang dibalut dalam nuansa riang gembira juga wajib digelar secara rutin oleh pemerintah (Disdikpora dan/atau Kemenpora) maupun organisasi olahraga tradisional (Portina), seperti Festival Olahraga Tradisional, baik tingkat Kecamatan/Kabupaten/Provinsi/Nasional. Jadi, dengan adanya fasilitas tersebut akan mampu merangsang siswa untuk bergerak aktif melalui permainan tradisional. Oleh sebab itu, para guru (guru wisesa, guru pengajian, dan guru rupaka) sudah sepatutnya lebih serius dalam menciptakan lingkungan seperti dimaksud di atas.
Berbagai kegiatan yang dirancang dengan permainan tradisional sebagai objek kegiatannya, maka pada tataran di lingkungan rumah siswa berpeluang untuk dimainkan kembali oleh mereka. Kita akan bernostalgia ke tahun 70an hingga 90an, dengan melihat kembali suasana anak-anak bermain permainan tradisional di lingkungan perumahan/permukiman.
Hal ini dapat terjadi karena adanya lingkungan formal yang membentuk atau mengintervensi secara masif, intens, terstruktur kepada generasi Z maupun generasi Alpha. Dengan kata lain, olahraga tradisional akan terlahir kembali (reborn) sebagai “penyela” aktivitas generasi muda kita dengan gadget (teknologi) dan menjadi instrumen penting negara dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa, menekan angka stunting, menekan angka penyakit kronis/metabolik, menumbuhkan semangat belajar di kelas, dan bertumbuh sebagai manusia yang Pancasilais.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Kepelatihan Olahraga Undiksha