Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Di Bali, tikus dihormati dengan sebutan “Jro Ketut”. Lazimnya, jro sebagai sebutan kehormatan, diberikan kepada orang yang memiliki dan menekuni keahlian tertentu seperti, misalnya, mangku, balian, dan dalang sehingga dindepan namanya diawali dengan sebutan Jro Mangku, Jro Balian, dan Jro Dalang.

Sementara itu, di tengah masyarakat Jawa tradisional, tikus juga disebut takzim dengan gelar raden. Bahkan, lebih dari itu, dalam masyarakat agraris tradisional Bali, ada upacara khusus yang
disebut ngaben bikul, di sejumlah desa di Tabanan dan Karangasem. Kawanan tikus sebagai hama–tatkala musim pemburuan –yang berhasil dibunuh oleh para petani, dibuatkan ritual seperti layaknya dalam pengabenan manusia.

Bukan hanya tikus sawah saja yang mendapat perlakuan demikian, tikus yang berkeliaran di rumah pun, oleh orang-orang tua zaman dulu, tidak diperkenankan mengusirnya secara kasar. Sebaliknya ditoleransi dengan sapaan bahasa halus, “rarisang memargi (silahkan lewat) Jro Ketut”.

Ada tuturan sebuah dongeng yang melatari sebutan kehormatan Jro Ketut kepada tikus. Alkisah, di Pulau Bali, ada sebuah Kerajaan Somakencana yang dipimpin oleh Raja Suliawana.

Suatu hari datang burung garuda yang merusak pertanian rakyatnya. Tak ada yang berani mengatasi keganasan burung besar itu. Tikus yang menghuni persawahan mencari akal untuk membujuk sekaligus menaklukkan garuda.

Baca juga:  Sarjana Pariwisata dan Percepatan Industri Pariwisata

Dikatakannya, bahwa ia sanggup mencomoti kutu-kutu yang banyak berada pada bulu garuda. Ketika garuda mau agar kutu-kutu itu enyah,
tikus memanggil teman-temannya. Saat garuda lelap ketiduran, para tikus menghabisi seluruh bulu garuda.

Betapa kagetnya ketiga garuda terbangun, sekujur tubuhnya gundul. Ia tak bisa terbang, hanya meloncat-loncat lunglai sedih di tepi sawah. Raja Suliawana bersuka cita ketika mengetahui kepahlawanan tikus memperdaya garuda. Tikus kemudian diberi gelar kehormatan “Jro Ketut”.

Perlakuan hormat kepada tikus juga dapat dijumpai di India. Di Bikaner, kota yang berada di Rajasthan, dekat perbatasan utara Pakistan, terdapat sebuah kuil tua yang berpenghuni sekitar 25 ribu tikus.

Pemujaan terhadap tikus yang berasal dari abad ke-15 itu kemudian dibuatkan sebuah kuil marmer berukir rumit dengan nama Karni Mata, diduga sudah dikeramatkan sejak tahun 1400-an. Hewan pengerat ini dihormati sebagai makhluk suci.

Menurut legenda, Karni Mata adalah seorang wanita terhormat reinkarnasi Dewa Durga, dewi kekuasaan dan kemenangan Hindu.

Baca juga:  Literasi dan Kepatuhan Wajib Pajak

Atas permohonannya pada Yama, dewa kematian, seluruh kerabat Karni Mata dianugrahkan menjalani siklus inkarnasi jadi tikus se-
belum lahir kembali sebagai manusia.

Saat ini, kabba atau tikus yang disucikan itu bebas berkeliaran di halaman kuil. Remah-remah atau minuman yang disisakan tikus tersebut dipercaya memiliki tuah. Sebuah perhelatan perayaan terhadap ribuan tikus itu digelar dalam Karni Mata Mela yang dilangsungkan sebanyakndua kali setiap tahun.

Belum pernah dikabarkan adanya kasus manusia terjangkit penyakit dari tikus-tikus di kuil itu. Jika ditengok ke belakang, tikus dan hewan
pengerat lainnya, pernah disimpulkan sebagai penebar wabah penyakit paling mematikan sepanjang peradaban manusia.

Pandemi penyakit pes Black Death yang dibawa oleh kutu tikus itu melanda Eropa, Asia, dan Timur Tengah pada pertengahan hingga akhir abad ke-14 (1347-1351).

Wabah tersebut mengakibatkan kematian massal yang diperkirakan menewaskan sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Tercatat total kematian global mencapai setidaknya 75 juta jiwa.

Sebagai hama, tikus, sejatinya, tidak hanya menjadi musuh petani dan juga tak hanya mencurinmakanan dan menggerogoti perabotan rumah, melainkan juga menyelinap ke kantor-kantor, dari menggigiti kabel-kabel hingga bertingkah mengobrak-abrik dokumen dalam laptop atau komputer.

Baca juga:  Sisi Gelap Bimbel

Oleh karena itu, karakter suka mencuri dan polah perusak dari tikus, dilekatkan sebagai metafora perbuatan korupsi atau koruptor dalam berbagai perspektif budaya di penjuru jagat. Dalam budaya Barat, tikus diasosiasikan sebagai penghancur.

Sementara dalam zodiak Tiongkok dari budaya Timur, tikus melambangkan kelicikan. Sedangkan dalam khasanah budaya Nusantara, tikus menguak sebagai simbol pengkhianat yang merusak norma demi keuntungan pribadi.

Tikus sebagai metafora kelicikan, pengkhianat, dan penghancur, jika kita kembali memaknai pesan moral dari dongeng, legenda atau hikayat Nusantara, telah mewanti-wanti kehidupan kontemporer Indonesia. Simak fabel “Singa dan Tikus”, misalnya, dimana singa begitu tunduk dengan tikus.

Bahkan, secara empirik, pada awal 2025 ini, seorang pelukis, Rokhyat asal Banjarmasin, sempat memamerkan karyanya yang bertajuk
“Tikus dalam Garuda”. Konteks yang ingin dikemukakan dalam karya seni tersebut, menggiring tafsir yang tak jauh-jauh dari maraknya kasus korupsi yang merugikan negara. Jika moral busuk ini tak tertanggulangi, warisan penghormatan kepada Jro Ketut akan ternoda bahkan punah.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *