
NEGARA, BALIPOST.com – Lahan persawahan di Kabupaten Jembrana pada bulan April ini memasuki masa panen raya. Di sejumlah subak yang produktif seperti di Kecamatan Mendoyo, dan Kecamatan Melaya panen hampir bersamaan. Meskipun Bulog telah siap menyerap gabah per kilogram minimal Rp 65 ribu, namun dengan kondisi hampir bersamaan ini petani terkendala tenaga tebas (panen). Minimnya sekaa manyi di setiap subak, juga menjadi pemicu petani kesulitan memanen sesuai waktu yang ditentukan.
Sejumlah petani mengungkapkan kendala tidak adanya tenaga atau kelompok tebas tersebut. Sekaa manyi sudah sangat jarang ditemui. Selain itu sebagian besar penebas, mengandalkan tenaga dari luar Bali (Jawa) dan saat ini masih sangat minim. Begitu juga dengan mesin harvester jumlahnya juga sangat terbatas dan tidak semua bisa mengcover.
“Kalau terus dibiarkan menunggu khawatirnya rebah, saya tebas sendiri, hasilnya untuk sendiri saja dulu,” kata I Wayan Budiasa (47) salah seorang petani asal Yehembang, Mendoyo.
Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana, I Komang Ngurah Arya Kusuma, Minggu (20/4) membenarkan kondisi kurangnya tenaga tebas saat panen raya ini. Menurutnya mesin harvester yang tersedia juga terbatas dan tidak semua petak sawah bisa dicover dengan mesin tersebut. Di sisi lain, kelompok tenaga tebas juga tidak semua Subak memiliki sehingga sangat bergantung pada penebas. “Dengan kondisi hampir bersamaan memang sangat kekurangan, solusinya, di tiap subak harus dihidupkan kembali sekaa manyi, jangan bergantung dari penebas,” kata Arya Kusuma.
Harga saat ini sudah ditetapkan minimal Rp 65 ribu dan Bulog siap menyerap hasil panen petani tanpa syarat. Tetapi hasil panen padi itu diterima sudah dalam karung (kampil) dan di pinggir jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat. “Positifnya, harga tidak anjlok saat panen raya. Petani dapat menghubungi klian subak atau PPL di lapangan,” katanya.
Diakuinya, hampir seluruh subak di Jembrana, sudah sangat berkurang sekaa manyi. Karena itu, subak diharapkan bisa menghidupkan kembali sekaa tersebut sama halnya dengan sekaa tanam yang masih ada. Sistem kebersamaan petani dalam subak ini harus dinyalakan kembali sehingga tidak ketergantungan.
Menurut Arya, semakin modern, petani lebih condong ke sistem instan dari mulai tanam hingga panen. Sehingga biaya produksi per hektar petani di Bali lebih tinggi dibandingkan di NTB atau NTT.
“Rerata satu hektar biaya produksi hingga Rp 25 juta, sementara di NTB NTT rerata Rp 15 juta per hektar. Bisa ditekan dengan pola menghidupkan sistem kebersamaan di Subak, semua petani terlibat,” tambahnya.
Pihaknya berharap solusi dengan penyerapan hasil gabah petani melalui Bulog bisa membantu terutama permasalahan klasik saat panen raya. Dimana saat panen raya, harga gabah cenderung merosot. Namun saat ini sudah ditetapkan harga gabah minimal per kilogram Rp 65 ribu. Bulog di Jembrana juga bermitra dengan tiga Perusahaan RMU yang akan menyerap dan mengolah hasil gabah petani. (Surya Dharma/Balipost)