
Oleh I Wayan Sukarsa
Globalisasi suatu proses integrasi dan interaksi mencakup bidang teknologi, perdagangan, budaya, politik, dan imigrasi, dicirikan semakin tingginya peradaban yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, menembus batas-batas budaya dan transformasi sosial.
Globalisasi bisa berdampak positif antara lain, berkembangnya pengetahuan dan teknologi, mempertinggi pandangan hidup kerja, arus ekonomi yg semakin tinggi, sedangkan dampak negatif terjadinya kesenjangan sosial, mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat, budaya termasuk kearifan lokal sehingga terjadi pergeseran nilai etika dan moral, tanpa disadari memberi andil menumbuhkan sifat materialistik, hedonistikme, individualistik dan sekuralistik.
Perubahan sifat atau karater akibat globalisasi memunculkan tindakan yang bersinggungan bahkan bertentangan dengan falsafah Tri Hita Karana merupakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan (vertikal ke atas), antarsesama manusia (horisontal) dengan lingkungan (vertikal ke bawah) yang menjadi tuntunan hidup dan menjaga kearifan lokal masyarakat Bali. Salah satu kearifan lokal yang telah memudar adalah budaya ngayah, sebagai konsep gotong royong, berorientasi pada peningkatan empati dan toleransi dalam membangun kebersamaan dan menguatkan kesatuan umat Hindu di Bali.
Ngayah adalah kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran karma marga, secara etimologi berasal dari asal kata ayah, ayahan, pengayah, ngayahang. Konsep ngayah ini serupa tapi tidak sama dengan konsep ngopin, nguopin atau ngaopin adalah kegiatan yang berada dalam skala yang lebih kecil, ditujukan pada kehidupan horizontal (antar sesama), sedangkan ngayah berada dalam skala yang lebih besar dan tradisi ditujukan pada hubungan vertikal dengan Tuhan.
Menurut Veda dan Bhagawadgita ciri utama jaman modern (kali-yuga) memunculkan sifat alam tamas (kegelapan) menutupi kesadaran penduduk bumi, kesibukan memuaskan indriya yang tidak terkendali mendorong manusia berbuat dosa (Numam pramattah kurute vikarma yad indriya-pritaya aprnoti). Perubahan sifat yang muncul akibat jaman jaman kali-yuga menciptakan kaum intelektual yang terdidik secara material, kurang memiliki kualifikasi kebrahmanan, dengan menemukan cara-cara memuaskan indriya jasmani secara lebih enak, lebih nikmat, lebih canggih dan efesien (Bg.18.42 dan Bg.11.17.16). Semua masalah kehidupan yang semakin menyengsarakan dan tidak mengindahkan, mengajawantahan falsafah Tri Hita Karana utamanya dibidang pawongan yang merupakan hubungan horizontal akan melunturkan bahkan menghilangkan budaya ngayah. Dampak ini sesungguhnya berpangkal pada cara mendidik diri dan generasi dalam menanamkan karater yang bersifat satwika, tidak terlepas dari andil lembaga pendidikan hanya mendidik untuk maju secara material sehingga kurang menghasilkan kaum intelektual berkualifikasi Brahmana, tetapi memproduksi kaum intelektual yang berwatak serakah membuat mereka buta dan tuli rohani.
Untuk mengimbangi kemajuan jaman kali-yuga sebaiknya lembaga pendidikan sebagai pembentuk karater manusia disamping mengajarkan menguasai teknolgi yang menciptakan sifat material sebagai tuntutan jaman perlu dimbangi kemampuan inteletual yang memiliki sifat yang berhati damai (samah), terkendali diri (damah), hidup sederhana (tapah), suci diri (saucam), bertolerasi (ksantir), jujur (arjanam), agamis (astiyam), senantiasa berpuas hati (san-tosah), pengampun (ksantih), berbakti kepada tuhan (mad-bhaktih) dan berkasih sayang (daya) Bg.18.42 dan Bg11.17.16.
Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung