I Nyoman Sucipta. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Sucipta

Pernyataan Gubernur Bali mengenai ancaman krisis pangan di Bali patut menjadi perhatian serius, terutama karena Bali merupakan destinasi pariwisata dunia yang bergantung pada stabilitas ekonomi dan ketersediaan kebutuhan pokok.

Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab ancaman krisis pangan di Bali antara lain: ketergantungan pada impor pangan.  Bali mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya dari luar pulau, termasuk beras, sayuran, dan bahan pokok lainnya. Gangguan pada rantai pasok (seperti masalah transportasi atau bencana alam) dapat mengancam ketahanan pangan.

Lahan pertanian di Bali semakin berkurang karena pembangunan infrastruktur pariwisata, perumahan, dan komersial. Dampak perubahan iklim seperti cuaca ekstrem atau kekeringan dapat memengaruhi produksi pertanian lokal. Inflasi dan kenaikan harga komoditas pangan dunia turut memengaruhi harga bahan pokok di Bali.

Ancaman krisis pangan di Bali adalah masalah serius, tetapi dapat diatasi dengan kebijakan yang tepat, kolaborasi antar pemangku kepentingan, dan inovasi pertanian. Dengan memperkuat ketahanan pangan lokal, Bali tidak hanya bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya, tetapi juga bisa menjadi role model bagi daerah lain di Indonesia terutama dalam hal integrasi pariwisata dan pertanian berkelanjutan.

Bali bisa menjadi contoh seperti  kearifan lokal yang kuat. Sistem subak (irigasi tradisional Bali) sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Ini bisa dikembangkan dengan teknologi modern untuk efisiensi air dan produktivitas. Budaya Tri Hita Karana (keseimbangan manusia, alam, dan spiritual) bisa menjadi filosofi dasar pengelolaan pangan berkelanjutan.

Baca juga:  Tumpuan Baru Pengentasan Kemiskinan

Pariwisata sebagai penggerak ekonomi pertanian Bali bisa memanfaatkan sektor pariwisatanya untuk mendorong ekonomi sirkular, seperti: farm to table tourism: restoran dan hotel menggunakan bahan lokal, mengurangi impor. Agrowisata: mengajak wisatawan belajar pertanian organik atau mengunjungi kebun lokal. Program seperti “Bali Gastronomy” bisa mempromosikan kuliner berbahan pangan lokal.

Karena lahan pertanian Bali semakin sempit, solusi seperti urban farming, hidroponik, atau vertical farming bisa dikembangkan bahkan di area perkotaan seperti Denpasar atau Badung. Kolaborasi multisektor pemerintah, swasta, akademisi, dan komunitas bisa bersinergi untuk: membuat food hub (pusat distribusi pangan lokal). Menggalakkan bank pangan untuk mengurangi food waste, meluncurkan kampanye “Ayo makan lokal” di sekolah dan tempat wisata.

Ketahanan Pangan sebagai  daya tarik wisata baru Bali bisa menjadikan pertanian berkelanjutan sebagai bagian dari branding pariwisatanya, seperti: Ekowisata berbasis pertanian (contoh: kebun kopi, kebun cokelat, atau sawah terasering). Festival pangan lokal (seperti “Bali Food Resilience Festival”) untuk menarik minat turis.

Dampak lebih luas jika Bali berhasil membangun ketahanan pangan yang kuat, dampaknya akan meluas yaitu  mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga harga lebih stabil. menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian dan pengolahan pangan. meningkatkan ketahanan iklim, karena pertanian lokal biasanya lebih adaptif.

Baca juga:  Ironi Negeri Petani

Inspirasi bagi daerah lain, seperti Jawa Barat, NTT, atau Sulawesi, untuk mengembangkan model serupa. Tantangan dan  langkah ke kedepan regulasi yang jelas yaitu  perlu payung hukum kuat untuk melindungi lahan pertanian. Sosialisasi pentingnya pangan lokal dan diversifikasi menu. Dukungan teknologi: Akses petani ke bibit unggul, IoT (Internet of Things) untuk pertanian presisi, dan pasar digital. Bali punya semua modal budaya, sumber daya manusia, dan daya tarik global untuk menjadi pelopor ketahanan pangan berbasis pariwisata. Jika berhasil, ini akan jadi legacy besar Gubernur Bali sekaligus contoh bagi Indonesia.

Konsep ketahanan pangan berbasis pariwisata menggabungkan dua sektor unggulan Bali pertanian dan pariwisata untuk menciptakan sistem pangan yang mandiri, berkelanjutan, dan justru memperkuat daya tarik wisata.

Kerangka strategis yang bisa diadopsi Bali adalah memanfaatkan pariwisata sebagai pasar utama pangan lokal. Seperti kemitraan hotel/restoran dengan petani lokal, program “Bali Local Food Procurement” mewajibkan atau memberi insentif bagi hotel dan restoran untuk membeli minimal 30-50% bahan pangan dari petani Bali.

Pasar khusus produk lokal dengan  membangun Bali Food Hub sebagai pusat distribusi yang menghubungkan petani langsung dengan pelaku pariwisata. Dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada impor (misal: bawang, daging, susu). Meningkatkan pendapatan petani sekaligus menjamin pasokan segar bagi industri pariwisata. Industri pariwisata bisa menjadi penggerak ekonomi subak sekaligus menjaga keberlanjutannya. Restoran besar membeli hasil panen subak dalam jangka panjang, memberikan kepastian pasar bagi petani. Paket wisata subak experience tour, wisatawan diajak turun ke sawah, belajar menanam padi, atau ikut ritual tradisional.

Baca juga:  Dari Prabowo Hingga Gojek

Sertifikasi dan  branding “Subak Premium” Label khusus untuk produk subak modern: Misal: “Bali Subak Organic Rice” yang dijual di hotel dan pasar internasional. Eco Certification untuk hotel yang support subak, penghargaan bagi hotel yang 30% bahan pangannya berasal dari subak lokal. Perusahaan pariwisata bisa “mengadopsi” satu subak dengan pendanaan untuk infrastruktur atau pelatihan. Contoh Nyata yang Bisa Diterapkan di Bali Thailand: “Rice Experience” di Chiang Mai, di mana turis belajar menanam padi dan  memasak hidangan lokal. Jepang: “Satoyama Tourism”, menggabungkan pertanian tradisional dengan ekowisata. Bali sendiri: Subak Jatiluwih sudah jadi contoh sukses integrasi pertanian pariwisata.

Langkah awal yang bisa diambil adalah pilot project di Subak Jatiluwih atau Tabanan dengan integrasi teknologi, sosialisasi ke asosiasi hotel dan  restoran (PHRI, AHI) untuk komitmen beli produk lokal dan kolaborasi dengan influencer kuliner dan  travel untuk promosi “Subak Tourism”.

Penulis, Guru besar Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *